tabloid pertama karya CAH BLORA ASLI

Sabtu, 25 September 2010

SRBLORA edisi 97 - MINYAK BUMI Blora untuk Rakyat Blora

FOKUS

Dana Bagi Hasil Minyak Bumi Saatnya Berubah


BLORA, SR- Potensi Sumber Daya Alam (SDA) yang ada di kabupaten Blora boleh dibilang sangatlah spektakuler untuk ukuran daerah di Pulau Jawa.

Baik mulai dari Hutan, Kandungan Batu Al;amnya hingga Sumber minyak Buminya.


Terlebih Sumber Minyak Bumi, sejak Indonesia jaman penjajahan hingga saat ini

Kabuten Blora dengan kecamatan Cepunya masih merupakan penyangga devisa minyak untuk Indonesia.


Namun demikian sampai saat ini masyarakat Blora sendiri belum memperoleh kesejahteraan dari sumber minyak yang digali dari tanahnya sendiri.


Bahkan beberapa sutradara muda beberapa saaat lalu membuat sebuah film documenter yang berhasil menembus final pada festifal film internasional Asia pasifik dengan judul Ayam Mati Dilumbung Padi.

Dan setelah Bupati terpilih pada pilkada lalu yakni Djoko Nugroho dan Wabup H Abu Nafi dilantik mempunyai beban yang sangat berat untuk merubah keadaan ini. Untuk mewujudkan Visinya yakni Mewujudkan Pemerintahan yang bersih menuju masyarakat Blora Sejahtera.


Sebagai mana diketahui sejarah Perminyakan di Indonesia Berawal di Jaman Hindia Belanda sekitar tahun 1830 – 1890 oleh seorang Belanda bernama A Jana Zijlker. Pada tahun 1884 dia melakukan pengeboran Sumur Telaga Tiga-1 di lapangan minyak Telaga Said wilayah Deli Sumatera Utara.


Kemudian Zijlker mempelopori perusahaan minyak deengan nama The Royal Dutch Company yang menjadi Cikal bakal perusahaan raksasa Shell yang ada di dunia saat ini.


Sementara di di Jawa Tengah seorang Belanda yang bernama P Van Dijk memulai penelitian tentang rembesan sumur minyak pada tahun 1867 [ada sumur Ledok 1 dan di Bor pada tahun 1893 oleh Ir Adrian Stoop seorang insinyur muda yang juga bertugas mengebor air minum di Grondpellwesen.


Sehingga bias dikatakan Ir Adrian Stoop adalah penemu pertama minyak bumi di Cepu dengan melakukan penmgeboran pertamanya di desa Ledok. Serta mernyimpulkan bahwa di panolan Cepu terdapat lading minyak berkwalitas tinggi dengan jumlah yang sangat besar.


Dari sinilah kemudian muncul konsesi minyak daerah lain yang ada di kabupaten Blora. Diantaranya Konsesi tambang minyak Jepon Semanggi, konsesi tambang minyak Nglobo , Banyubang, Trembes, Nglono dan Ngapus.


Dan sampai saat ini wujud nyata hasil minyak dari cepu masih bisa dirasakan, Bahkan Penemuan terbaru dari satelit bumi bebrapa waktu lalu, Blora dengan Blok Cepunya masih banyak Minyak Bumi yang belum bisa diproduksi.


Oleh Negara eksplorasi secara besar-besaran lisensinya sudah ditangan Exxon Mobil Ltd yang saat ini mulai produksi di Bojonegoro. Sementara untuk wilayah kabupaten Blora belum di eksplorasi.

Akan tetapi potensi minyak Cepu, dari Sumur minyak Tua juga sangatlah banyak dan sudah saatnya Pemkab melalui BUMD Blora Patra Energi (BPE) menagani secara Profesional sehingga dapat menjadi penyangga PAD dan secara tak langsung dapat mewujudkan masyarakat Blora Sejahtera, seperti yang pernah dituntutkan Konsorsium LSM Blora Blok Cepu beberapa waktu lalu.(Roes)


Fokus Samping

Komang G Irawadi Kepala DPPKAD

Dana Bagi Hasil Migas Blora Naik


BLORA , SR- Harapan Blora untuk mendapat dana bagi hasil (DBH) minyak dan gas (migas) lebih banyak tahun ini akhirnya tercapai. Kepala Dinas Pendapatan Pengelolaan Keuangan dan Aset Daerah (DPPKAD) Komang Gede Irawadi mengemukakan, tahun ini DBH minyak yang diterima Blora dari Pemerintah Pusat sebesar Rp 1,93 miliar.

”Tentu kami bersyukur karena tahun ini DBH yang diterima Blora lebih banyak dibandingkan dengan tahun lalu, Rp 881,2 juta,” ujarnya, kemarin.

Komang mengatakan, peningkatan DBH tersebut tidak terlepas dari kenaikan harga minyak mentah di pasaran internasional. Meski tidak diketahui pasti berapa ribu barel minyak yang dihasilkan dari bumi Blora sehingga mendapatkan DBH sebesar itu, Komang memperkirakan, jumlah produksi tidak cukup berpengaruh signifikan.

”Yang paling dominan mungkin pengaruh harga minyak. Berdasarkan data yang dihimpun, DBH yang diperoleh tahun ini bukan yang terbanyak dibandingkan dengan tahun-tahun sebelumnya. Pada 2008 DBH yang diterima Blora Rp 1,9 miliar. Bahkan pada 2007, DBH yang diperoleh paling tinggi, yakni Rp 3,44 miliar,” ungkapnya. (Roes)


Sugeng Hariyanto Komisi C DPRD Blora

Kontribusi Yang Jelas Dulu Baru Eksplorasi


BLORA, SR- Lain halnya dengan pendapat wakil rakyat kita terkait PAD dari Eksplorasi minyak ini. Seperti yang diungkapkan Sugeng Hariyanto, anggota Komisi C DPRD, menandaskan, semestinya kehadiran penambangan migas baru di Blora harus memberikan kontribusi positif kepada daerah, seperti DBH dan kesejahteraan masyarakat.

Dia mendukung sikap sejumlah rekannya di Dewan yang menghendaki kejelasan DBH atau kontribusi lain sebelum dimulai penambangan migas di Blok Randugunting.

”Kalau masih belum jelas memang harus dihentikan dahulu. Kami tidak ingin pengalaman masa lalu terulang. Sudah sering masyarakat dijanjikan kesejahteraannya meningkat seiring dengan penambangan migas di satu lokasi di Blora, padahal ternyata itu hanya janji perusahaan minyak,” tegasnya.

Terlebih dia mendengar, eksplorasi Blok Randugunting yang baru dimulai 7 Agustus di Desa Krocok, Kecamatan Japah terjadi masalah teknis pengeboran.

”Kami agendakan bertemu manajemen Pertamina EP Randugunting untuk mendapat kejelasan bagi hasil ataupun permasalahan yang terjadi di lapangan dalam proses eksplorasi. Kami tidak ingin masyarakat dirugikan,” tandas dia.(Roes)




Subroto Anggota DPRD Blora

Hentikan Eksplorasi Migas


BLORA, SR- Komisi B DPRD Blora meminta penghentian penambangan minyak dan gas (migas) jika bagi hasil yang diperoleh daerah tidak jelas. Pengalaman selama ini menunjukkan, Blora tak mendapat bagi hasil yang memadai.

Padahal sumber daya alam migas di Blora telah memberikan kontribusi besar bagi penerimaan negara maupun keuntungan perusahaan eksplorasi. Ironisnya, pendapatan yang diperoleh Blora tidak cukup banyak, bahkan warga Blora yang masuk katagori miskin masih cukup banyak.

''Dana bagi hasil yang diterima Blora dari sektor migas sangat sedikit, maksimal hanya Rp 2 miliar per tahun. Kami selama ini hanya menjadi penonton saja dan menerima imbasnya dari penambangan migas,'' ujar Ketua Komisi B DPRD Blora, Subroto, akhir bulan September lalu.

Dia yang didampingi anggota Dewan Suhada Hasan mengemukakan, masih akan banyak lagi kegiatan penambangan migas di Blora. Menurut dia, penambangan dan dana bagi hasil migas yang diterima Blora yang minim di tahun-tahun sebelumya menjadi pengalaman dan pelajaran berharga.

Komisi B tidak ingin persoalan ini terulang lagi. Karena itu pihaknya akan memaksimalkan upaya meminta bagi hasil yang jelas pada kegiatan migas yang akan datang. Salah satunya, eksplorasi minyak di Blok Randugunting. ''Kegiatan penambangan migas baru di Blora harus memberikan kompensasi yang jelas dulu, nilainya berapa dan diberikan kapan. Jika semua itu tidak bisa dilakukan, lebih baik penambangan dihentikan,” tandasnya.(Roes)

Minggu, 05 September 2010

SRBLORA edisi 97 - Pesan GUBENUR Jateng - Kulanuwon RSU GRATIS

Yang Tersisa dari Pelantikan Bupati dan Wabup Blora

Gubenur BIBIT WALUYO Menilai Blora Tertinggal

BLORA, SR- Gubernur Jawa Tengah, H Bibit Waluyo mengaku prihatin dengan kondisi Kabupaten Blora yang masih tertinggal dengan daerah lain. Lebih prihatin lagi, nilai APBD hampir Rp 1 triliun itu, hanya Rp 56,4 miliar yang berasal dari hasil pendapatan daerah sendiri.


Menilik pendapatan asli daerah (PAD) yang hanya Rp 56,4 miliar itu, menurut Gubernur Jateng, dapat ditarik kesimpulan kalau Blora sampai saat ini sangat bergantung dari gelontoron dana pusat.


”Otonomi daerah itu bukan tujuan, tapi sebagai sarana saja. Maka jangan salah kaprah mengartikan otonomisasi,” tandasnya.


Jadi tambahnya, kalau bergantung pada anggaran pusat, kalau bupati diundang rapat gubernur jangan sampai tidak hadir, jangan mewakilkan karena hukumnya wajib.


Demikian juga kalau ada masalah di daerah, karena gubernur itu kepanjangan tangan presiden. Gubernur Bibit Waluyo menyapaikan hal itu ketika melantik Bupati Blora 2010- 2015, Djoko Nugroho-H Abu Nafi di Aula gedung DPRD setempat, Rabu (11/8) sore.


Hadir, sejumlah anggota DPRDPD RI, anggota DPRD Jateng, bupati/dandim tetangga, para mantan Bupati Blora dan sekitar 1.000 undangan lainnya. Gubernur mengatakan, Blora dan sekitarnya kondisi cuacanya berbeda dengan daerah lain. Musim hujan selalu datang paling akhir, namun kemarau justru datang paling cepat.


Perhatian khusus


Soal keprihatinan pada Blora, membuat orang nomor satu di Jateng ini memberikan perhatian khusus pada kabupaten ini, setidaknya sudah 10 kali gubernur datang ke Blora, memberi motivasi warga masyarakat agar semangat tinggi dalam menjalani pekerjaannya.


Diakuinya, warga Blora terkenal sangat ulet, rajin dan temen. Sebab meski kritis air di saat musim kering, petaninya tetap bersemangat, kreatif dan kerja keras untuk meningkatkan hasil pertanian. Melihat petani yang rajin, gubernur langsung bersimpati dan membantu sumur lapang 1.500 titik.


Terhadap bupati dan wakil bupati baru, dia berpesan agar seorang pimpinan banyak turun lapangan, bisa ngemong, bersahabat dan membibing warga masyarakatnya secara baik. Demi Blora lebih baik lagi, Gubernur minta agar legislatif, yudikatif, stakeholder, pengusaha dan elemen masyarakat bersatu padu membangun Blora.(TIM)



Kulanuwun


Modal Sosial Rumah Sakit Segera Wujudkan Kesehatan Gratis


Sesuai salah satu misi pasangan Bupati Djoko Nugroho dan Wabup H Abu Nafi SH adalah Rumah Sakit Umum (BRSD) baik di Blora maupun di Cepu akan dibuka secara resmi untuk memberikan layanan kepada masyarakat kabupaten Blora secara gratis.


Sebagian masyarakat Blora memandang dua rumah sakit milik Pemkab Blora ini telah mempunyai kesiapan yang memadai dalam aspek manajerial, fisik sarana prasarana, maupun ketenagaannya.


Sehingga apa yang menjadi misi dari Bupati dan Wakil Bupati Blora periode 2010-2015 akan menjadi mudah terwujudnya.


Lebih dari itu, sejatinya urgensi dari pendirian setiap RS adalah untuk dapat memberikan layanan kesehatan yang berkualitas dan dapat dijangkau oleh masyarakat.


Terjangkau dalam tataran geografi maupun ekonomi. Dalam aspek rujukan apalagi kegawatdaruratan, ketiadaan RS yang representatif di suatu kawasan jelas akan meningkatkan risiko medis.


Di sisi lain, pemberian layanan tidak boleh bersifat diskriminatif secara ekonomi. RS didirikan bukan hanya untuk warga yang berkemampuan, tetapi juga bagi warga tak berpunya. Yang memegang kartu jamkesmas, kartu jamkesda, maupun hanya bermodal surat keterangan miskin belaka.


Bagaimanapun, RS adalah bentuk organisasi jasa yang mempunyai keunikan karakteristik dibandingkan dengan industri jasa lainnya. Dalam memberikan layanan kepada masyarakat, petugas RS lebih dipandang sebagai sebuah tim dan keluarannya bukan merupakan hasil kerja individual.


Dengan demikian diperlukan suatu social capital pada proses penyediaan layanan di RS karena layanan organisasi ini sangat bertumpu pada sumber daya manusianya. RS merupakan organisasi yang padat kompetensi serta terikat dalam sebentuk ketergantungan antara individu dan unit kerjanya.


Secara harafiah, social capital (modal sosial) dapat diartikan sebagai sekumpulan norma dan jejaring kerja pada suatu organisasi yang di dalamnya para pemangku kepentingan dapat mengakses tata nilai untuk memperoleh kekuatan dan sumber daya.


Modal sosial merupakan kemampuan untuk merajut institusi, mendorong partisipasi yang setara dan berkeadilan, serta diwarnai sikap saling percaya.


Oleh sebab aspek kerja sama menjadi unsur penting, maka hanya organisasi yang mempunyai tingkat kepercayaan sosial tinggi yang akan berhasil mewujudkan organisasi yang fleksibel, berskala besar dan mampu bersaing pada perekonomian global.


Saat ini ditengara adanya kecenderungan yang menunjukkan penurunan nilai modal sosial di kalangan masyarakat. Semangat kemanusiaan cenderung menipis.


Dalam organisasi RS, kepercayaan, jejaring, dan komitmen harus dibangun pada semua lapisan sumber daya manusia yang menyanggahnya. Satu saja pilar modal sosial ini rapuh, maka RS akan menjadi institusi yang “tidak sehat”.


Tingkat kepercayaan yang sehat di suatu RS adalah ketika seluruh komponen yang ada mempunyai rasa saling percaya diri untuk menjalankan tugas. Kepercayaan juga mesti dikembangkan agar semua pemangku kepentingan internal memiliki kekuatan moral yang tinggi dalam menegakkan eksistensi organisasi RS.


Mengembangkan jejaring yang sehat adalah bila semua sumber daya manusia di RS mampu berbagi informasi, belajar memercayai dan bekerja sama dalam hubungan timbal balik yang setara. Setidaknya ada enam bidang yang secara mendasar dibutuhkan oleh anggota dari organisasinya, yaitu target, sumber daya, informasi, edukasi, umpan balik, dan bimbingan teknis dalam melaksanakan fungsinya.


Komitmen yang sehat dapat ditemukan pada saat sense of belonging terhadap organisasi RS menjadi visi bersama bagi semua pemangku kepentingan. Komitmen untuk kesempurnaan dicirikan oleh kepedulian bersama terhadap kualitas kinerja dan adanya sistem untuk evaluasi, modifikasi, kontrol, serta penghargaan kritis.


Menurut Szreter dan Woolcock (2004) modal sosial dibedakan menjadi tiga yaitu bonding, bridging, dan linking social capital. Bonding lebih ditekankan pada hubungan kerja sama dan saling percaya di antara anggota jejaring yang memiliki kesamaan sosio-demografis. Pada RS dapat digambarkan pada kuatnya hubungan kesejawatan masing-masing profesi tenaga kesehatan.


Sebaliknya, bridging dapat dicermati pada hubungan saling menghormati dan saling menguntungkan di antara anggota dengan latar belakang sosio-demografis yang berbeda, misalnya umur, kelompok etnis, komunitas sosial, dan sejenisnya. Gambaran untuk organisasi RS adalah adanya komunikasi terbuka dan egaliter.


Sementara linking merujuk kepada norma-norma saling menghormati serta jejaring hubungan yang saling percaya di antara anggota yang berinteraksi lintas kekuasaan formal dan terlembaga atau lintas otoritas dalam masyarakat. Kultur birokrasi di negeri ini sering kali terasa kaku. Perbedaan eselonisasi tidak jarang menghambat kelancaran proses komunikasi dan kerja sama.


Pada organisasi RS kesan seperti ini semestinya dapat diabaikan. Sebagai institusi yang langsung memberikan pelayanan kepada masyarakat, maka sudah menjadi keharusan untuk melihat jenjang jabatan baik struktural/manajerial maupun fungsional/teknis medis sebagai sebuah tatanan fungsi koordinasi yang saling mendukung dan melengkapi.


Suasana demikian juga perlu diciptakan dengan para pemangku kepentingan eksternal, seperti dengan otoritas regulator kesehatan wilayah, unit-unit pelayanan fungsional lainnya maupun segenap lembaga yang bergerak dan terkait dengan pelayanan perumahsakitan.


Terlebih, pada masyarakat sebagai pelanggan yang mutlak harus dilayani dengan semestinya tanpa memandang status sosial. Membayar tunai ataupun memanfaatkan kartu jamkesmas/jamkesda bahkan hanya menggunakan secarik kertas pernyataan miskin akan memperoleh pelayanan dengan standar yang sama.


Bila diibaratkan sekeping mata uang, maka modal sosial merupakan satu sisi, sedangkan sisi yang lain adalah modal fisik. Logis bila memberikan penguatan pada modal fisik seperti mempermegah bangunan gedung, melengkapi dan mempercanggih sarana prasarana medis maupun penunjang.


Akan tetapi, semuanya akan menjadi kurang bermakna bagaikan “sekeping mata uang tanpa sisi nilai nominal” jika tidak disertai dengan penguatan pada modal sosialnya. (Penulis Drs.Ec.Agung Budi Rustanto – Redaktur tabloid Suara Rakyat)