tabloid pertama karya CAH BLORA ASLI

Jumat, 03 Oktober 2008

SR Edisi 52 - Model TABLOID

Klik KIRI pada gambar yang akan ANDA BACA























Sampai hari ini, bangsa Indonesia belum mempunyai kemampuan untuk mewujudkan cita-cita yang terkandung di dalam UUD 1945, yakni mencerdaskan kehidupan bangsa dan meningkatkan kesejahteraan. Hal tersebut harus dipahami sebagai kesalahan secara kolektif bangsa ini.
Kesalahan bangsa ini karena elite politik lebih sibuk mengurus kekuasaan ketimbang memikirkan nasib rakyat. Hal ini mudah sekali dibuktikan dengan ketidakpedulian pemimpin negara ini atas urusan masyarakat luas. Banjir tak terkendali di musim hujan, kekeringan yang menimbulkan kelaparan, jalan raya yang tak terurus, kecelakaan dan berbagai penyakit terus melanda.

Pertanda lain, yakni jumlah warga miskin yang terus bertambah, penyelenggaraan layanan sosial yang sangat minim. Semuanya ini menunjukkan bukti bahwa pemimpin negara belum mengarahkan nakhoda kapal negara Indonesia ini menuju kesejahteraan dan kecerdasan bangsanya.
Kondisi ini diperparah dengan elite politik yang telah lengser dari kekuasaan, tidak mendukung secara positif terhadap elite politik yang berkuasa, yang ada hanyalah sikap menyalahkan. Padahal ketika masih berkuasa dulu, dia tidak menunjukkan kinerja yang lebih baik daripada penguasa saat ini. Kalaupun mengklaim sebagai oposisi, yang dilakukan baru sebatas memberi kritik dan kritik, tanpa solusi.
Hal tersebutlah salah satu di antara banyak hal yang menyebabkan cita-cita bangsa ini tidak tercapai. Cita-cita mencerdaskan kehidupan bangsa dan meningkatkan kesejahteraan masyarakat menjadi sesuatu yang abstrak, tanpa tahu kapan akan menjadi sesuatu yang nyata.
Indonesia yang merdeka tahun 1945, ternyata baru bisa membebaskan bangsa ini merdeka di bidang politik atas bangsa yang lain. Bangsa ini ternyata belum merasakan efek positif dari kemerdekaan itu.
Dalam situasi seperti itu, saat ini elite politik justru menunjukkan betapa perbedaan pandangan atas penyelesaian masalah bangsa ini terpecah menjadi tiga. Yang pertama, kelompok yang menginginkan agar Indonesia kembali kepada UUD 1945 yang disahkan oleh Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI) pada tanggal 18 Agustus 1945. Yang lain ingin agar UUD 1945 diamendemen lagi. Ada pula yang ingin agar bangsa ini menahan diri dengan tetap menjalankan UUD 1945 hasil amandemen tahun 1999-2002 itu.
Di luar tiga pandangan itu, ada yang ingin melakukan redesain Indonesia melalui UUD baru.
Pandangan keempat menurut penulis merupakan pandangan yang realistis untuk keselamatan bangsa dan negara ini. Sebab, UUD 1945 yang telah menciptakan dua rezim pemerintahan otoriter, kini justru menjadi objek perdebatan yang membahayakan nasib bangsa dan negara ini. Jalan tengah yang agak revolusioner dan ekstrem adalah membangun Indonesia baru dengan UUD baru.
Mengapa perlu Indonesia baru dengan UUD baru? Pertama, hasil perubahan UUD 1945 yang konon untuk memperbaiki Indonesia yang rusak ini telah terbukti gagal. Kegagalan ini di samping disebabkan oleh cara melakukan perubahan yang salah, yakni sepotong-sepotong yang menghasilkan UUD yang tidak inheren antara ketentuan yang satu dengan yang lain. Juga karena ada sebagian elite politik yang belum legawa atas hasil perubahan UUD 1945 itu dengan memberi penilaian hasil perubahan UUD 1945 kebablasan.
Kedua, bangsa ini telah mempunyai paradigma yang salah mengenai bagaimana kekuasaan itu harus dijalankan. Yakni, kekuasaan dimaknai sebagai kekuasaan itu sendiri. Jadi, kekuasaan adalah tindakan yang mereka maui. Ajaran Machiavelli dalam Il Principe amat kental dalam praktik menjalankan kekuasaan selama ini. Sehingga UUD 1945 dan berbagai produk hukum turunannya dijadikan alat legitimasi untuk membuat kebijakan yang justru tidak bijak itu.
Oleh karenanya, langkah pasti untuk melakukan redesain Indonesia salah satu alternatifnya melalui jalan pembentukan UUD baru, baru sama sekali. Dalam UUD yang baru kelak, segala sesuatu yang berkaitan dengan penyelenggaraan negara harus diatur secara rinci dan konsisten.

Kerincian diperlukan untuk menghindari tafsir sesat dari penguasa. Sedang konsistensi muatan yang ada dalam UUD diperlukan untuk menjaga agar berlangsungnya negara tidak terganggu oleh berbagai perdebatan yang menghambat jalannya negara. Lebih jelasnya arah negara ini dijalankan tetap ke depan walau penguasanya diganti.
Redesain ini harus dilakukan oleh anak bangsa ini yang tidak menangis hanya karena wajah negara dan atau UUD-nya berubah. Sebab jika masa lalu yang jelas buram terus dipertahankan, maka bangsa ini tidak akan bangkit dari keterpurukan. Kesejahteraan dan kecerdasan bisa dilakukan dengan cara-cara tidak mempersoalkan bentuk negara.

Mempertahankan negara kesatuan tetapi rakyat tetap kelaparan dan bodoh adalah dosa besar. Mempertahankan UUD 1945 dengan membiarkan penguasa yang otoriter adalah zalim.Sudah saatnya bangsa ini berpikiran progresif dan visioner, demi tercapainya cita-cita mulia pendiri negara ini, masyarakat yang sejahtera dan cerdas.

Tidak ada salahnya negara Indonesia sebagai negara baru memiliki sebuah UUD yang bersifat revolusioner, radikal dan progresif. Mari kita tinggalkan kebodohan dan kemiskinan, serta fanatisme terhadap bentuk negara kesatuan dan UUD 1945, dengan tetap sebagai warga negara Indonesia.( Drs.Ec.Agung Budi Rustanto-Redaktur)


















2 komentar:

Win Win mengatakan...

Terimakasih Bung SR -berkat bantuan wartawan anda selama aku PKL di Blora. Dan Met Idul Fitri Mohon maaf lahir batin
Wiwin Daniaty
F.Kom UPN Jogjakarta

tina mengatakan...

Tulisan yg sangat bagus sekali Gung. Apakah UUD 1945 perlu diperbaharui? Apakah UUD 1945 hal yg sangat sakral sehingga sulit sekali untuk diubah.

Gung, tabloid suara rakyat ini apa beritanya hanya berkisar ttg Blora. Boleh ngga aku kirim artikel ttg Foster Parent in the UK. Cuman aku kan bukan penulis profesional ya, mungkin tulisannya ngga sebagus hasil tulisanmu.

Salam
Tina'85