tabloid pertama karya CAH BLORA ASLI

Kamis, 24 Juni 2010


Turun takhta demi apa…?

Harta, takhta dan wanita adalah rangkaian kalimat yang sering dilekatkan kepada keberhasilan seorang pria dalam menggapai kehidupan dunia. Harta, takhta dan wanita kemudian menjadi hasrat terbesar manusia untuk mengejar kejayaan dan kemuliaan dunia. Ketiganya juga dianggap sebagai perangkat yang bisa menjatuhkan pria.

“Memangnya salah kalau kita mempunyai hasrat untuk mengejar harta, takhta dan wanita?” kata Denmas Suloyo dalam obrolan di sela-sela nonton bareng siaran langsung Piala Dunia di News Cafe kampung kami, Minggu malam kemarin.

“Siapa yang bilang salah. Saya kan hanya mengatakan, kalau mengejar harta, takhta dan wanita tanpa etika itu akan menghancurkan diri sendiri, merendahkan martabat dan merusak reputasi,” timpal Mas Wartonegoro.

Diskusi kelas kampung menyorot soal harta, takhta dan wanita itu berawal dari fenomena sejumlah pemimpin kita yang akhir-akhir ini rela turun takhta, turun jabatan, turun pangkat dari walikota jadi wakil walikota, bupati jadi wakil bupati atau ”mendelegasikan” keberlangsungan jabatan kepada sang istri.

”Dalam peraturan perundang-undangan memang tidak ada larangan seorang walikota atau bupati yang sudah dua kali menjabat tidak boleh menjadi wakil bupati. Yang ada adalah, tidak boleh menjadi walikota atau bupati lagi. Tapi justru ini lho yang bikin saya tidak mengerti, mengapa masih ada yang tetap saja pengin jadi pejabat meskipun harus turun derajat,” jelas Mas Wartonegoro.

”Lha namanya juga jabatan, takhta, Mas. Kalau aturannya memang tidak ada ya tidak apa-apa ta? Yang penting tebal muka ha ha ha...” jawab Denmas Suloyo sambil tertawa.

”Itulah yang saya maksud Denmas, kok makin banyak orang tebal muka... tidak paham rasa malu. Masalah turun takhta ini memang bukan soal perundangan-undangannya ada atau tidak, tapi menyangkut etika, moralitas, orang bilang fatsoen, sopan santun...” kata Mas Wartonegoro.

Turun kualitas

Benar juga apa yang diperbincangkan dua sahabat saya itu. Fenomena turun takhta di negeri kita demi harta, kekuasaan, kekayaan, eksistensi atau apapun alasannya kian merebak di mana-mana. Sejumlah pengamat lantas menyebut kualitas pemilihan kepala daerah di Indonesia semakin menurun.

Direktur Lingkar Madani Indonesia Ray Rangkuti, misalnya, menyebut bahwa secara umum kualitas pemilihan kepala daerah semakin menurun. Ini terlihat dari semakin banyaknya persoalan yang muncul. Persoalan dalam Pilkada selalu sama yakni berkaitan dengan daftar pemilih tetap, surat suara, pencalonan, politik uang, penghitungan suara, dan intimidasi. Persoalan-persoalan tersebut, bukannya menurun pada setiap Pilkada yang diselenggarakan lima tahun sekali, melainkan terus bertambah.

Penurunan kualitas Pilkada ini disebabkan beberapa faktor yaitu penyelenggaraan yang bermasalah dan kedewasaan berdemokrasi dari peserta pilkada yang kurang. Pilkada dikelola dengan semangat demokrasi yang minimalis.

Tak heran jika kini banyak para kepala daerah yang sudah dua periode menjabat lantas rela turun takhta. Tengok saja Walikota Surabaya yang kini sudah terpilih menjadi Wakil Walikota Surabaya, Bupati Wonogiri yang hendak mencalonkan diri sebagai wakil bupati pada Pilkada mendatang, demikian juga Bupati Ponorogo H Muhadi Suyono yang juga hendak melanjutkan kekuasannya meskipun turun takhta menjadi wakil bupati.

Bambang Riyanto yang telah dua periode menjabat sebagai Bupati Sukoharjo, dalam Pilkada belum lama ini mendorong sang istri untuk maju sebagai calon bupati sekalipun akhirnya gagal. Model mengajukan sang istri untuk melanjutkan kekuasaan sang suami seperti itu juga dilakukan Bupati Kediri Sutrisno. Tak tanggung-tanggung, dua istrinya Ny dr Haryanti dan Ny Nurlaila secara bersamaan maju sebagai calon bupati. Juga Bupati Bantul Idham Samawi yang mendukung majunya sang istri dalam Pilkada.

Begitu banyak politisi dan pejabat yang lupa bahwa takhta itu ada batasnya. Sehingga ketika mereka terus berusaha dengan segala cara, yang diperoleh tidak hanya masuk penjara dan tidak bisa dicalonkan lagi untuk priode berikutnya, tapi citra dirinya hancur.

Tapi perlu juga diingat bahwa harta, takhta dan wanita yang selama ini dianggap sebagai penjatuh pria, bahkan sebesar-besarnya pria bisa jatuh oleh sekecil-kecilnya wanita sesungguhnya tidak seluruhnya benar. Setidaknya saya sependapat dengan apa yang dikatakan Mario Teguh bahwa harta, takhta, wanita memang bisa menjadi ukuran keutuhan keberhasilah seorang pria.

”Seorang pria yang berhasil, harus berhasil berharta, bertakhta, dan berwanita. Yang menjadikannya gagal adalah bukan harta, takhta, wanita, tetapi yang menjadikannya gagal adalah sikap yang salah. Karena sikap yang salah adalah pembatal keberhasilan apapun,” kata sang motivator ini

Jadi, seperti kata Mario Teguh, ukuran keberhasilan seorang pria adalah dia berharta yang membuat dirinya baik, bukan jadi sombong. Kemudian apabila dia bertakhta tujuannya bukan untuk memperkaya diri dan kelompok tetapi untuk menyejahterakan, membahagiakan dan mencemerlangkan orang lain. Dan apabila dia didampingi seorang wanita, dia akan memuliakannya sehingga wanita itu akan memuliakannya kembali... - Oleh : Mulyanto Utomo Wartawan SOLOPOS

Tidak ada komentar: