tabloid pertama karya CAH BLORA ASLI

Senin, 16 Februari 2009

SR edisi 60 - SEPUTAR BERITA

Caleg-Caleg Keleleran di Jalan
Saat ini, foto calon anggota legislatif (Caleg) bertebaran di mana-mana, terutama di pinggir-pinggir jalan, baik itu jalan protokol maupun gang-gang sempit di perkampungan.
Tujuan utama pemasangan atribut kampanye itu tidak lain untuk menarik simpati dari masyarakat, seakan mereka bilang, ”Jangan lupa, pilih saya lho pada Pemilu 2009.”
Ada atribut yang menampilkan foto setengah badan Caleg. Ada juga yang memperlihatkan foto/gambar dari ujung rambut sampai ujung kaki plus aksesori. Aksi mereka juga beragam, tak mau kalah dengan foto model.
Dari yang memakai pakaian khas Jawa dengan ikat kepala, memakai batik, sampai mengenakan jas dan dasi, ditambah peci agar kelihatan berwibawa. Begitu juga Caleg perempuan. Mereka berkebaya dengan mahkota yang disanggul, mungkin meniru RA Kartini, ada juga yang mengenakan kerudung.
Pada atribut kampanye itu, Caleg lelaki kelihatan ganteng-ganteng dan berwibawa, Caleg perempuannya terlihat cantik bak puteri Indonesia yang siap memperjuangkan aspirasi kaum perempuan. Selain foto, mereka mencantumkan nama yang diiringi titel yang panjang dan macam-macam, sampai-sampai saya tidak tahu itu gelar apa. Diharapkan, dengan gambar foto dan n
ama lengkap yang panjang, nantinya masyarakat tidak salah mencontreng pada Pemilu 2009.
Akan tetapi sungguh kasihan mereka karena atribut-atribut itu dipasang asal-asalan. Foto mereka dipajang di tempat yang kurang layak. Akibatnya, gambar-gambar yang indah tersebut menjadi tidak nyaman dipandang. Masalahnya, para Caleg tersebut rela fotonya ada yang dipaku ke batang-batang pohon, padahal cara itu merusak lingkungan. Biasanya mereka memasang dipohong pada tempat yang jarang didatangi Panwaslu dan dipelosok desa pinggiran.
Kemungkinan, tim sukses Caleg tidak menyadari bahwa tempat untuk memasang atribut kampanye itu mempunyai nyawa. Atau mereka benar-benar tidak tahu bahwa batang pohon itu juga berhak berkembang dan hidup.
Seandainya bisa berteriak, mungkin pohon itu akan mengadu kepada lembaga swadaya masyarakat (LSM) yang peduli lingkungan. Pohon-pohon itu akan menuntut atas kekerasan yang dilakukan para Caleg.
Bahkan jika bisa berteriak, mereka akan ganti berkampanye, jangan pilih Caleg tersebut karena perilakunya tak terpuji, melakukan kekerasan terhadap makhluk hidup demi kepentingan pribadinya.
Menurut data yang tercantum di Komisi Pemilihan Umum (KPU) Blora, ada 463 Caleg, terdiri dari 318 laki-laki dan 145 perempuan. Bisa dibayangkan bila orang sebanyak itu menempelkan atribut kampanye ke lebih dari satu pohon memakai paku. Apakah Caleg yang melakukan tindakan seperti itu layak dipilih ?
Mestinya para Caleg menempatkan gambar dirinya pada tempatnya. Kalau kita mempunyai foto, pasti disimpan baik-baik di album. Apabila hendak dipamerkan, tentu foto tersebut diberi bingkai dan digantung ditembok yang sesuai agar tersebut untuk enak dipandang.
Penempatan atribut yang cocok dan sesuai dengan porsinya akan menjadi nilai lebih bagi Caleg itu sendiri. Warga saat ini semakin kritis memilih Caleg yang pantas atau yang tidak pantas dipilih. Atribut yang dipasang tertib, fokus dan sesuai sudut pandang yang melihat, pasti akan menjadi perhatian warga.
Penempatan atribut yang tepat, rapi dan enak dilihat juga merupakan cerminan terhadap kota yang ikut menyukseskan pesta demokrasi. Kalau perlu, gambar Caleg dipasang bersama-sama sehingga calon pemilih dapat membandingkan Caleg satu dengan lainnya.
Kalaupun Caleg ingin fotonya ditampilkan sendiri, boleh saja, asal mengikuti aturan-aturan yang ditetapkan. Misalnya, tidak dipaku ke pohon, menggunakan ragangan/bingkai yang sesuai.
Selain itu, aturan penataan atribut kampanye harus ditegakkan secara tegas. Misalnya, dilarang keras mempromosikan diri dengan mengorbankan makhluk hidup. Penempatan atribut kampanye yang tidak tepat juga akan merusak keindahan kota.
Lembaga terkait seperti KPU, Panwaslu hingga Pemkab bekerja sama mengarahkan dan mengatur hingga menindak pemasangan atribut kampanye. Ada kawasan yang diperbolehkan dan ada yang dilarang dipasangi atribut. Jangan sampai, hanya gara-gara terpesona oleh gambar Caleg, pengguna jalan malah celaka.
Sanksi yang tegas perlu diterapkan agar para Caleg kapok, tidak mengulangi kesalahannya. Instansi terkait berhak menertibkan dan menyita atribut yang dipakukan ke pohon. Apabila Caleg-caleg tersebut tidak menghiraukan, tetap mengulangi tindakannya, layak pulalah Caleg tersebut diumumkan sebagai Caleg yang tidak peduli lingkungan.
Sebenarnya, iklan atau atribut kampanye itu bisa menjadi sumber pendapatan daerah. Walaupun jangka waktunya relatif singkat, potensi tersebut dapat digali dalam bentuk retribusi atau yang lain sehingga pendapatan daerah dapat meningkat.
Selama ini, mereka diuntungkan dengan izin memanfaatkan ruang publik seluas-luasnya. Tidak ada salahnya mereka juga dituntut kompensasinya untuk memenuhi kewajibannya yaitu membayar pajak daerah.
Penulis kira mereka tidak akan merasa berat dikenai pajak. Hanya, perlu dibuat aturan yang jelas. Sekaligus ini menjadi contoh yang baik bahwa Caleg merupakan warga negara yang baik, yang taat membayar pajak.
Penempatan gambar-gambar pada posisi yang tepat, aman, tidak mengganggu, dapat memberikan suasana nyaman dan bersih, tidak kemproh. Sehingga, harkat dan martabat Caleg dapat terangkat kembali, dipercaya, dan dipertanggungjawabkan dalam mencari dukungan dari masyarakat dan calon pemilih.
Pada akhirnya, dengan disediakan space (tempat) yang nyaman, masyarakat dapat menyeleksi, menimbang-nimbang dan memberikan keputusan siapa yang pantas dipilih. Calon pemilih tidak kebingungan lagi, gambar dan informasi juga tersedia di satu tempat, tidak di sembarang tempat.
Semoga selama kampanye ini, para Caleg tidak lagi melakukan aksi memprihatinkan, dengan aksi tempel atribut di pinggir jalan, yang mengesankan keleleran, tidak mengindahkan kelestarian lingkungan.
(Penulis: Drs Ec. Agung Budi Rustanto- Redaktur SR)





Tradisi LAMPORAN diharap Menambah Wisata Budaya
Blora, Suara Rakyat.-
Lamporan suatu tradisi dari nenek moyang yang masih terjaga hingga sekarang, tetap dilaksanakan di kelurahan Kunden kecamatan Blora Kamis malam (22/1) lalu.
Pada pelaksanaan kirab lamporan diawali dan diakhiri dihalaman kelurahan Kunden ini, tak kurang sedikitnya diikuti 600 orang yang berjalan kaki membawa obor. Dan diiringi dengan kelompok kesenian Barong yakni Seni Barong Risang Guntur Seto dari kelurahan setempat.
Menurut A
di Wibowo, tradisi ini sudah turun temurun dilaksanakan setiap tahunnya. Tujuan disamping pelestarian budaya, juga diharap nantinya akan menambah wisata budaya dikabupaten Blora.
“Disamping sebagai pelestarian budaya, dimaksud juga sebagai ruwat deso, ngilangake sengkolo tinebihno ing sambikolo murih makmure Rojokoyo” kata Adi Wibowo yang juga koordinator kegiatan ini.
Yang cukup menarik dalam kirab kali ini, tradisi mulai dikembalikan seperti semula.Yakni dalam kirab ini jumlah peralatan pecut/cemeti dan obor masing-masing sebanyak 40 buah tampak ada.
“Juga diwajibkan dalam perjalanan ditengah jalan, harus singgah di kediaman sesepuh Blora yakni keluarga RM. Sumo (alm Kakeknya istri Bupati Blora,RA Manik Habsari-red),” jelas Didik panggilan akrab Caleg DPRD Blora nomer 4 dapil I dari partai Golkar ini.
Acara berakhir setelah keliling desa Kunden secara menyeluruh, dan ditutup dengan doa bersama dipimpin pemuka agama setempat dilanjutnya dengan tumpengan.
Sementara RA manik Habsari ketika ditemui dikediamanya, mengharap agar tradisi ini tetap dilestarikan. Karena disamping sebagai tradisi namun berfilosofi yang tinggi, yakni mengusir Setan yang selalu mengganggu umat manusia.
“Semoga di tahun 2009 ini desa Kunden dijauhkan dari godaan setan, masyarakatnya bisa hidup tenang dan tentram, dijauhkan godaan setan yang selalu menggoda umat manusia,” ungkap RA Manik Mabsari yang juga ketua Tim Penggerak PKK kabupaten Blora ini. (Roes/Adv)


























Tidak ada komentar: