tabloid pertama karya CAH BLORA ASLI

Sabtu, 28 Februari 2009

SR Edisi 61 -SEPUTAR BERITA



Mungkinkah Pendidikan Gratis di Blora
                   
Oleh: Drs.Ec. Agung Budi Rustanto
 Tak ada alasan untuk memungut lagi,” begitu pernyataan Mendiknas Bambang Sudibyo. Mulai tahun 2009, SD dan SMP negeri tidak dibolehkan memungut biaya kepada siswa. Dana bantuan operasional sekolah (BOS) sudah dinaikkan.
 Selain pembebasan sumbangan penyelenggaraan pendidikan (SPP), sekolah juga tidak boleh memungut biaya operasional dan investasi yang sering disebut uang gedung atau uang bangku. Itu kewajiban Pemda, demikian kata Mendiknas.
 Sekolah yang masih memungut biaya, akan mendapat sanksi sesuai UU Kepegawaian mulai dari teguran sampai dengan pemecatan. Besaran BOS per siswa tahun ini untuk tingkat SD di kabupaten sebelum naik adalah Rp 254.000 sekarang Rp 397.000, untuk tingkat kota Rp 400.000 atau sekitar Rp 33.000/siswa/bulan, ditambah lagi dengan bantuan penyelenggaraan pendidikan (BPP) Rp 13.000/siswa/bulan, jadi total adalah Rp 46.000/siswa/bulan.
 Tingkat SMP di kabupaten sebelum naik adalah Rp 354.000 sekarang Rp 570.000, kota Rp 575.000 atau Rp 80.900/siswa/bulan dari gabungan BOS dan BPP.
 Setelah dihitung oleh para kepala sekolah apa saja biaya yang harus dibiayai dan faktor-faktornya, ternyata unit cost operasional SD hanya Rp 36.000/siswa/bulan sedangkan SMP Rp 70.000/siswa/bulan. Jadi masih ada sisa Rp 10.000/siswa/bulan untuk SD dan Rp 10.800/siswa/bulan untuk SMP.
 Tetapi pertanyaannya mengapa banyak daerah mengaku belum siap? Dengan macam-macam alasannya mulai dari menghitung jumlah siswa tidak mampu, indeks biaya, survei keadaan sekolah kaya dan miskin dan persoalan klasik masalah dana karena APBD belum mencukupi.
 Alasan itu sangat mengada-ada karena dana BOS dan BPP saja sudah mampu menutup kedua biaya tadi bahkan lebih 
 Di balik itu, kita patut memberikan apresiasi dan penghargaan terhadap beberapa daerah yang secara tegas menyatakan siap melaksanakan kebijakan pada tahun ini. Dengan semangat otonomi daerah, beberapa Pemda mulai serius menangani pendidikan di daerah masing-masing.
 Mereka semakin sadar bahwa hanya dengan investasi pendidikan maka kualitas SDM akan meningkat, ini berarti akan memperbaiki angka human development index (HDI) yang saat ini Indonesia masih berada di posisi seratusan lebih.
 Pemda berupaya merealisasikan anggaran pendidikan sampai 20% atau paling tidak bisa mendekati angka itu. Perjuangan ekstra keras demi untuk menopang suksesnya wajib belajar dan sekolah gratis di daerah masing-masing merupakan hal positif.
 Agaknya para pemangku kepentingan sudah mulai menyadari bahwa investasi pendidikan itu tidak bisa dilihat dalam waktu sekejap layaknya membangun jembatan atau jalan tol, yang begitu anggaran digelontorkan, satu atau dua tahun langsung bisa dilihat hasilnya.
 Pola pandang ini yang sulit masuk logika para birokrat bahkan anggota legislatif dulu. Karena begitu lamanya melihat hasil dari sebuah proses pendidikan maka anggaran pendidikan kadang-kadang tidak memperoleh pembahasan yang proporsional.
 Kucuran BOS sebagai penopang dana operasional sekolah adalah iktikad baik pemerintah sebagai stimulan untuk mengawali program nasional pendidikan gratis, apabila belum mencukupi Pemda diminta nomboki kekurangan itu dari APBD. Pemda wajib mengendalikan pungutan biaya operasional SD dan SMP swasta sehingga siswa miskin bebas dari pungutan yang berlebihan sehingga tidak ada lagi alasan mereka putus sekolah karena biaya.
 Pemerintah telah menyiapkan dana cukup besar. Dari data Yang didapat SR dari Dinas Pendidikan Provinsi Jawa Tengah, penyaluran dana tahun 2008 mencapai Rp 1,287 triliun dengan alokasi tingkat SD Rp 847,022 miliar dan SMP Rp 440,043 miliar. Jumlah SD penerima BOS 19.890 buah dengan jumlah siswa 3.334.734 anak, SMP sebanyak 3.329 buah dengan 1.243.062 siswa.
 Dalam mengelola dana BOS, diperlukan komitmen kuat agar tidak menyimpang dari arah yang diinginkan. Banyak pejabat yang tersandung masalah karena salah urus. Kasus buku ajar yang didanai BOS buku cukup sudah memberi pelajaran dengan banyaknya pejabat yang terpaksa harus berurusan dengan hukum.
 Bupati, walikota, bendahara dan Pimpronya ada yang menjadi korban karena gagal mengelola dan mempertanggungjawabkan dana itu.
 Zaman telah berubah, ketertutupan yang dulu tidak bisa dijamah oleh siapa pun kini dengan mudah diakses oleh siapa saja. Akuntabilitas dan transparansi mutlak diperlukan dalam pelayanan publik termasuk dalam menangani pendidikan gratis ini.
 Keterlibatan banyak pihak sangat diperlukan seperti LSM, Pers, komite sekolah, anggota masyarakat untuk memantau sejauh mana terlaksananya BOS 2009 yang dananya cukup besar agar tepat sasaran dan meminimalisasi penyelewengan anggaran seperti pada kasus buku ajar.
 Kalangan legislatif ada yang berpendapat anggaran yang digelontorkan untuk pendidikan gratis tidak menjadi persoalan asalkan dikelola dengan baik dan terbuka. Sinyalemen seperti itu mengindikasikan bahwa pengelolaan dana BOS belum sesuai dengan harapan.
 Disinyalir juga terjadi penurunan manajemen mutu pendidikan jika dibandingkan dengan sebelum ada pendidikan gratis. Hal yang juga penting dalam pendidikan gratis, tidak semata-mata soal kucuran dana tetapi juga tolok ukur keberhasilannya. Untuk itu, Dinas Pendidikan harus transparan.
 Selama ini, masyarakat sangat terbebani biaya sekolah dan lain-lain yang timbul. Lebih terasa lagi beban itu tumplek-blek menjadi satu pada saat tahun ajaran tiba. Komite sekolah yang diharapkan bisa bersuara dalam mengendalikan tingginya biaya pendidikan ternyata belum berpihak pada orangtua murid.
 Masih sulit menemukan komite sekolah yang tidak cuma menampung aspirasi orangtua murid tetapi keberadaannya juga bisa meringankan beban masyarakat yang membutuhkan pelayanan pendidikan.
 Pendidikan gratis merupakan konsekuensi dari pelaksanaan Pasal 31 ayat (2) perubahan ke-4 UUD 1945 yang bunyinya, ”Setiap warga negara wajib mengikuti pendidikan dasar dan pemerintah wajib membiayainya
 ” Pendidikan gratis sebenarnya adalah solusi dari banyaknya angka putus sekolah. UU Sisdiknas No 20 Tahun 2003 Pasal 1 ayat (18) juga mengatur tentang hal itu.
 Tetapi mengapa kesan pendidikan itu mahal semakin menggema di telinga masyarakat ekonomi lemah?
 Mungkin saja pendidikannya gratis, biaya personal dan terselubung itulah yang menjadikan biaya tinggi. Kontradiktif lainnya adalah anggaran pendidikan 20% ternyata include dengan belanja pegawai alias gaji pendidik.
 Padahal yang dituntut adalah 20% itu tidak termasuk gaji sehingga besaran itu bisa fokus pada peningkatan kualitas dan sarana pendidikan.
 Kita sekarang tinggal melihat apakah Pemerintah Blora di bawah Bupati RM Yudhi Sancoyo masih setengah hati untuk benar-benar mentaati amanat konstitusi. Ataukah masih ditemui biaya siluman yang pasti illegal, maka sampai kapan pun pendidikan tak mungkin gratis. “Selamat bekerja Bu Ratnani, tanggungjawab pendidikan Blora di tangan Anda”. 

*) Penulis adalah Redaktur Tabloid Suara Rakyat




Tidak ada komentar: