tabloid pertama karya CAH BLORA ASLI

Selasa, 17 Agustus 2010

SR edisi 96 - Pemikiran KESI WIJAYANTI untuk Blora

Pemikiran DR.Ir.Hj.Kesi Widjajanti MM untuk Blora


BUMD sifat BO harus Pola Pikir “Entrepreneur”


SEMARANG, SR- Kurang optimalnya sumber daya manusia (SDM) di lingkungan badan usaha milik negara (BUMN) mengakibatkan rendahnya daya saing perusahaan milik negara tersebut. Akibatnya, tidak sedikit BUMN yang tidak mampu memberikan keuntungan bagi negara, bahkan cenderung merugi.


Menurut Dr Ir Kesi Widjajanti MM yang juga Dekan Magister Manajemen Universitas Semarang salah satu penyebab rendahnya daya saing itu, karena kurangnya jiwa entrepreneurship di kalangan karyawan


Salah satu strategi pemerintah untuk meningkatkan daya saing itu, dengan privatisasi. ”Meski privatisasi sudah populer, masih sedikit perhatian yang mempertimbangkan perilaku entrepreneurship di organisasi,” kata Kesi di Semarang saat dikonfirmasi Minggu (15/8).


Menurut mantan first lady Blora ini, meski privatisasi merupakan strategi populer untuk meningkatkan ekonomi, tidak semua boleh diprivatisasi. Beberapa perusahaan yang tidak boleh diprivatisasi yang mencakup public service obligation (PSO).


Beberapa BUMN yang telah diprivatisasi, kenyataannya akhirnya mempu memiliki daya saing bagus. Contoh yang telah diprivatisasi, yakni Telkom, Indosat, Semen Gresik, Kimia Farma, dan Perusahaan Gas Negara.


Kesi juga mengaku saat study kasus pada saat disertasi, dirinya menemukan kinerja perusahaan bisa ditingkatkan dengan adanya peningkatan daya saing. Peningkatan bisa dicapai dengan adanya peran transformasi di lingkungan perusahaan. Dengan privatisasi BUMN, secara otomatis struktur perekonomiannya telah beralih.


Saat ditanya bagaimana dengan BUMD di Kabupaten Blora, apakah perlu juga di Privatisasi, doktor ilmu ekonomi bidang manajemen pada program Doktor Ilmu Ekonomi Undip ini menjawab tidak semua BUMD Blora.


Menurut Kesi yang juga alumni IPB angkatan 17 jurusan manajemen hutan lulusan 1 Desember 1984 ini, BUMD yang bersifat PSO (Publik Service Obligation) yang tinggi tidak perlu di privatisasi.


“Sedang BUMD yang berada dalam mekanisme pasar yang bersifat Business Oriented (BO) harus berpola pikir entrepreneur karena berada dalam persaingan yang bersifat kompetitif,” jelas Kesi. (Roes)




Kulanuwon

Kini Saatnya Keluar dari Penjara Ego


Dalam diri manusia terdapat empat penjara. Menurut Ali Syari’ati, keempat penjara manusia tersebut: alam, sejarah, masyarakat dan ego. Dalam perjalanannya, manusia berhasil keluar dari jebakan alam, sejarah, dan masyarakat.


Yang paling sulit ditaklukkan manusia adalah belenggu ego. Manusia lebih memilih egonya daripada Tuhan. Hingga hari ini, kita bisa melihat berbagai kerusakan dunia diakibatkan oleh tangan-tangan manusia. Teror bom, keserakahan, korupsi, kekerasan atas nama agama, kerusakan lingkungan, dan degradasi moral, masih mendominasi perilaku manusia di belahan dunia.


Tesis tentang homo homini lupus, manusia memakan manusia dan survival of the fittest, siapa yang kuat maka dialah pemenangnya, terbukti kebenarannya. Bagaimana manusia bisa keluar dari penjara ego?


Dalam beberapa buku tentang Islam digambarkan bahwa hawa nafsu atau ego selayaknya gunung yang tinggi dan besar, banyak rintangan, lereng yang curam, belukar yang lebat, banyak duri dan banyak perampok. Semakin tinggi kita mendaki semakin banyak bahaya.


Ego, dalam tasawuf Islam, adalah penyakit hati dan tirai baja yang menghalangi manusia untuk melihat Tuhan. Ego adalah rumah sempit yang harus ditinggalkan bila manusia ingin mendekati dan bergabung dengan Tuhan. Puasa bagi setiap muslim, diharapkan dapat membebaskan diri dari penjara hawa nafsu yang membelenggu.


Puasa yang intinya menahan makan, minum dan hubungan seks sejak terbit fajar sampai matahri tenggelam, merupakan sarana efektif untuk keluar dari kungkungan ego. Manusia yang sanggup mengalahkan nafsunya akan memeroleh gelar takwa. Hakikat puasa adalah menjadikan manusia sebagai al-insan. Manusia al-insan adalah manusia yang berkesadaran, mampu meredam potensi kehinaan dan memiliki tanggung jawab untuk memakmurkan dunia.


Puasa adalah menjalani pelatihan untuk menggeser perhatian yang berlebihan pada ego.atau dengan arti yang sesungguhnya, Puasa berarti menempatkan kehendak Allah di atas kehendak sendiri.


Puasa menemukan momentum di tengah indikator keterpurukan bangsa. Kita menjumpai perilaku destruktif manusia yang semakin vulgar. Dan inilah cermin ketidakmampuan menahan diri. Aksi bom bunuh diri, korupsi yang hampir merata di seluruh Indonesia, kerusakan lingkungan, money politics dan akhirnya rakyat hanya menjadi penonton keserakahan para pemegang kekuasaan. Tak peduli nasib rakyat yang semakin sengsara.


Pertanyaannya, mengapa kebanyakan umat Islam, sungguh pun mereka berpuasa, masih menampakkan perilaku yang tidak mencerminkan nilai-nilai ketakwaaan? Menurut Muhammad Abduh, hal itu terjadi karena kebanyakan umat Islam berpuasa sekadar formalistik. Mereka berpuasa semata-mata untuk memelihara formalitas ketentuan agama.


Arti Puasa yang sejatinya menahan dari hawa nafsu dengan memperbanyak tadzakur, tafakur dan tadarus akan menciptakan orang bertakwa


Namun, cita-cita ideal puasa sering berbenturan dengan realitas sosial. Hal ini dapat kita temui dari maraknya konsumerisme di bulan puasa. Orang-orang pun mulai menyerbu mal dan supermarket untuk berbelanja. Puasa yang sejatinya mendidik manusia untuk menahan hawa nafsu, pada kenyataannya dijadikan ajang menghambur-hamburkan uang untuk kepentingan konsumerisme. Puasa akan sia-sia jika dimensi spiritual tidak mampu menerangi manusia.


Puasa dalam konteks sekarang dipahami sebagai seseorang yang sanggup hidup sederhana di tengah godaan kemewahan dan kesempatan untuk menduduki jabatan tinggi. Kekayaan yang diperoleh tidak digunakan untuk hidup berfoya-foya dan pamer harta, melainkan untuk kepentingan rakyat kecil yang hidupnya semakin susah.


Begitu sulitnya bagi seseorang untuk menangkap spirit puasa, sampai-sampai Rasulullah SAW perlu menyampaikan peringatan keras kepada pengikutnya, tidak semua orang yang telah puasa akan mampu memetik buah dari ibadah puasa. Sabda Nabi SAW: Banyak orang melakukan puasa tetapi hanya memperoleh lapar dan dahaga.


Di samping itu, umat Islam dalam melakukan ibadah puasa sekadar berorientasi fikih. Seseorang sanggup menahan makan, minum dan hubungan seks tetapi masih bicara kotor, berbohong dan bertindak kasar terhadap tetangga. Orang tersebut belum bisa dikatakan puasa tetapi lapar. Artinya, orang yang berpuasa hanya sekadar menahan makan dan minum, tetapi masih berperangai kasar, maka yang diperolehnya hanya lapar. Puasa yang diterima Allah adalah puasa yang dilakukan dengan keimanan dan ketulusan.


Semoga ibadah puasa kita tidak sekadar siklus periodik keagamaan, tanpa ada ikhtiar untuk menangkap spirit puasa yang transformatif. Yaitu manusia yang sanggup menginternalisasi nilai-nilai Ilahi, seperti kejujuran, kesederhanaan, optimisme, mampu menjaga diri dari syahwat kekuasaan yang korup dan meningkatnya kepedulian sosial untuk saling berbagi. Manusia yang sanggup meleburkan diri dari dimensi nasut ke dimensi lahut (ketuhanan). Dan akhirnya puasa mampu menaklukkan ego manusia yang semakin ganas.


Dan Penulis yang sangat miskin dalam pengetahuan agama Islam khususnya, dibanding salah satu top leader kabupaten Blora karena mereka boleh dikata tokoh dibidang agama Islam. Apalagi salah seorang top leader tersebut merupakan ketua dari organisasi sosial keagamaan terbesar di Indonesia, tentunya mumpuni di bidang agama Islan serta lebih tanggap akan keadaan rakyatnya.

Marhaban Ya Ramadan. (Penulis Drs.Ec.Agung Budi Rustanto- Redaktur Tabloid Suara Rakyat)

Tidak ada komentar: