tabloid pertama karya CAH BLORA ASLI

Minggu, 11 Juli 2010

Kulanuwon Si Miskin Dan Pendidikan


Kulanuwon


Pendidikan-Barang Mewah bagi Warga Miskin.


Saat ini diawal tahun ajaran hampir pasti para orang tua disibukan dengan pendidikan anaknya. Demikian juga penulis yang asli Blora juga tak lepas dari permasalahan itu. Mulai dari beli peralatan sekolah seperti baju seragam, sepatu, tas dan lain sebagainya.


Bahkan bagi orang tua yang anaknya melanjutkan sekolah yang lebih tinggi, haruslah mempunyai jumlah rupiah yang lebih agar anaknya dapat diterima disekolah yang lebih tinggi.


Dari pantauan penulis sebagian besar sekolah negeri di Blora, kita ambil contoh SMP kisaran angka Rp. 1 juta lebih orang tua harus mengeluarkan koceknya agar anaknya dapat sekolah.


Jumlah sebesar itu untuk uang pangkal ( atau istilah yang lain-red) dan uang seragam.


Tapi kenyataan ini tidak hanya terjadi di kabupaten Blora saja, hampir sebagian besar kabupaten di Indonesia.


Mengapa ini terjadi ? kita harus menarik permasalahan ini dari pusat.


Kebutuhan biaya sekolah yang melonjak di awal tahun ajaran baru, mungkin dianggap sebagai sesuatu yang biasa. Jika kita cermati lebih seksama, tren kenaikan biaya pendidikan dari tahun ke tahun ternyata jauh lebih tinggi daripada kenaikan harga kebutuhan lainnya.


Berdasarkan data Badan Pusat Statistik, kenaikan biaya pendidikan pada Juli 2009 dibanding tahun 2000 mencapai 227%. Pada tahun 2000, indeks harga biaya pendidikan berada pada level 100.


Sedangkan pada tahun 2009 angka indeks tersebut telah mencapai 327. Angka tersebut lebih tinggi dari kenaikan indeks harga pangan pada periode sama yang sebesar 122%. Juga jauh lebih tinggi dari kenaikan indeks harga secara umum pada periode sama yang sebesar 115%.


Padahal berdasarkan data yang dikumpulkan Purbaya Yudhi Sadewa (Kompas, 31/8/2009) di negara tetangga kita yaitu Malaysia, indeks biaya pendidikan pada periode yang sama hanya naik 17%.


Sedangkan di Thailand, pada periode April 2009 dibandingkan dengan tahun 2000 hanya naik 11%. Bahkan pada periode tiga bulan (Mei-Juli) tahun 2009, indeks biaya pendidikan di Thailand justru turun sebesar 11%.


Pemerintah memang telah menaikkan anggaran pendidikan sejak tahun 2005. Pada tahun 2005, rasio anggaran pendidikan terhadap APBN hanya sebesar 8,1%, dengan alokasi Rp 33,40 triliun. Tahun 2006 rasionya meningkat menjadi 10,1% dengan alokasi Rp 44,11 triliun. Tahun 2007 rasionya meningkat lagi menjadi 10,5% dengan alokasi Rp 53,07 triliun.


Tahun 2008 rasionya meningkat lebih tajam menjadi 18,5% dengan alokasi Rp 158,52 triliun.


Kemudian sejak tahun 2009, rasio anggaran pendidikan terhadap APBN telah menjadi 20% yang sesuai dengan amanat UUD 1945. Alokasi anggaran pendidikan pada tahun 2009 mencapai Rp 207,41 triliun. Sedangkan di tahun 2010, alokasi anggaran pendidikan dalam APBN-P mencapai Rp 221,4 triliun.


Kelihatan aneh memang, di saat terus bertambahnya anggaran pendidikan yang disediakan APBN, indeks harga biaya pendidikan juga terus meningkat. Mengapa hal itu bisa terjadi?


Secara umum hal itu terjadi karena alokasi anggaran pendidikan tidak tepat sasaran. Sehingga anggaran yang telah dikucurkan pemerintah tidak mampu mengurangi biaya pendidikan yang harus ditanggung masyarakat.


Terkadang, pemerintah terkesan bingung sehingga mengambil kebijakan yang tidak terarah.


Sebagai contoh kecil, pada tahun lalu pemerintah memberikan tambahan anggaran untuk sekolah berstandar internasional sebesar Rp 300 juta. Padahal sekolah berstandar internasional sudah memungut biaya yang mahal.


Sebuah kebijakan yang kurang tepat mengingat sekolah berstandar internasional tidak menjangkau masyarakat secara luas. Hanya yang berpenghasilan tinggi yang mampu menyekolahkan anaknya di sekolah berstandar internasional.


Selain itu, besarnya anggaran pendidikan yang tahun ini mencapai Rp 221,4 triliun, ternyata hanya sebagian kecil yang disalurkan untuk program pendidikan.


Sebagian besar dari anggaran tersebut dialokasikan untuk membayar gaji dan tunjangan guru. Penjelasan Direktur Profesi Pendidikan Ditjen Peningkatan Mutu Pendidik dan Tenaga Kependidikan (PMPTK) Kemendiknas, Achmad Dasuki (okezone.com, 26/5), memberi gambaran tentang hal itu.


Menurutnya jika tahun ini 800.000 guru telah mempunyai sertifikat, maka diperlukan dana Rp 16 triliun untuk membayar tunjangan profesi. Sedangkan jika 2,6 juta guru telah tesertifikasi, dana tunjangan profesi makin membengkak hingga Rp 60 triliun.


Jumlah itu pun harus ditambah dengan pembayaran gaji guru PNS sebesar Rp 107 triliun. Lalu tunjangan khusus sebesar Rp 2,6 triliun untuk guru yang ditugaskan di daerah terpencil.


Barang mewah


Tampaknya pemerintah lebih memrioritaskan anggaran pendidikan untuk peningkatan kesejahteraan guru melalui tunjangan profesi bagi yang lolos sertifikasi.


Sebenaranya peningkatan kesejahteraan guru juga penting untuk meningkatkan kinerja mereka. Sayangnya, hasil sementara dari survei yang dilakukan Persatuan Guru Republik Indonesia (PGRI) menunjukkan bahwa kinerja guru yang lolos sertifikasi belum memuaskan.


Jika kita asumsikan hasil akhir penelitian PGRI sama dengan hasil sementara, maka kesimpulannya alokasi terbesar dari anggaran pendidikan tidak tepat sasaran.


Selain tidak mampu meningkatkan kinerja guru, besarnya anggaran untuk kesejahteraan guru juga menyedot alokasi lain dari anggaran yang mestinya untuk program pendidikan.


Tentu kita hanya bisa iri terhadap apa yang terjadi di Thailand. Disana, mulai triwulan pertama tahun 2009 telah dicanangkan program pendidikan gratis 15 tahun mulai dari tingkat taman kanak-kanak sampai tingkatan SMA. Program itu mencakup biaya sekolah gratis, buku gratis, peralatan pendidikan gratis, baju seragam gratis dan pembiayaan untuk aktivitas rekreasi.


Selain itu, sekitar 70% dari iuran pendidikan tinggi juga akan dibayar oleh negara. Memang, rasio anggaran pendidikan terhadap anggaran pendapatan dan belanja negara di Thailand sudah mencapai 27%. Namun siapa yang berani menjamin, jika rasio anggaran pendidikan terhadap APBN di Indonesia telah mencapai 27%, program pendidikan gratis 15 tahun bisa terwujud.


Tampaknya pemerintah perlu segera menata ulang prioritas dalam mengalokasikan anggaran pendidikan. Hal itu juga perlu dibarengi dengan pengawasan dan evaluasi secara kontinyu. Tingginya kenaikan indeks biaya pendidikan dari tahun ke tahun bukanlah sinyal positif. Jangan sampai pendidikan menjadi barang mewah terutama bagi warga miskin.


Semua sepakat bahwa pendidikan harus terjangkau oleh seluruh lapisan masyarakat. Harga kebutuhan pangan yang murah adalah penting. Tetapi pendidikan murah juga penting. Dan kita tunggu dengan pasti, inilah yang mungkin akan diprioritaskan oleh Penguasa Blora tahun ajaran mendatang. (Penulis: Drs.Ec. Agung Budi Rustanto Redaktur tabloid SR)

Tidak ada komentar: