Minggu, 18 Juli 2010
SRCepu Edisi 93 -Panen gagal Harga Naik
Harga naik, daya beli anjlok, biaya pendidikan tinggi
CEPU, SR- Masyarakat Cepu yang dulu dikenal sangat konsumtif, akhir-akhir ini terlihat lebih anteng, para ibu rupanya sudah mulai berhitung dalam membelanjakan uangnya. Tingginya harga barang konsumsi dibarengi saat kenaikan kelas dan mencari sekolah baru, menjadi salah satu penyebab para ibu menghemat pengeluarannya.
Keluhan yang tak jauh beda muncul dari mulut para pedagang yang mangkal di sekitar Kebun Kelapa. “Saya jual bawang sekilo dua puluh ribu, tetapi ketika kulakan harganya sudah dua puluh lima ribu begitupun dengan cabe dan telor. Rasanya kita kerja tidak ada hasilnya karena uang hasil dagangan tidak cukup untuk kulakan lagi,” keluh Rohmah (39).
Keadaan ekonomi yang semakin sulit, pendapatan tidak bertambah sementara pengeluran terus meningkat membuat daya beli masyarakat Cepu benar-benar anjlok. Meskipun penghematan sudah sangat ketat namun tetap saja banyak kebutuhan yang tidak terpenuhi karena tidak lagi terjangkau. Keadaan lebih parah lagi bagi keluarga yang memiliki anak sekolah karena biaya pendidikan juga sangat tinggi.
Bagi orang tua yang ingin menyekolahkan anaknya di sekolah favorit harus rela merogoh kocek lebih dalam, bagi yang tidak punya persediaan harus rela berhutang atau menggadaikan barang-darang miliknya.
“Saya harus mencari pinjaman karena uang saya tidak cukup untuk memasukkan anak saya ke STM Migas,” kata Tutik (44). Biaya masuk sekolah favorit apalagi yang akan berstatus internasional sangat tinggi. Tidak hanya itu, bagi siswa yang naik kelas pun dikenai uang daftar ulang yang cukup lumayan. Misalnya daftar ulang di STM Migas antara 1.350.000 hingga hampir tiga juta rupiah, sedangkan di SMU favorit hampir setengah juta rupiah. Sedangkan biaya pemasukan siswa baru jauh lebih tinggi, misalnya untuk beberapa jurusan di STM Migas mencapai 5,5 juta, untuk sekolah umum lebih rendah namun tetap saja mahal terutama pada situasi krisis seperti sekarang. (Agt)
Panen gagal lagi
CEPU, SR- Wilayah Selatan yang merupakan lumbung bagi Kecamatan Cepu, kembali mengalami gagal panen karena serangan sundep, keong dan tikus. Para petani mengalami kerugian antara 30% hingga 90%, rata-rata padi yang mereka panen banyak yang tak berisi (kopong) karena di dimakan ulat sundep.
Di Cabean, Gadon dan Kapuan hanya memperoleh kurang dari separo panen yang seharusnya. Satu hektar lahan yang biasanya bisa memanen padi 7-8 ton, panen kali ini hanya dapat memperoleh 3-4 ton. Sementara di derah Ngloram beberapa petani hanya memanen 2 ton gabah saja perhektarnya.
Menurut salah seorang perangkat desa Cabean gagal panen ini dialaminya sejak tahun 2009. Hal ini menyebabkan ekonomi para petani semakin terpuruk. “Masa sulit yang dialami para petani ini bukan karena petani malas atau tidak tahu cara bertani tapi seperti bencana alam yang memang harus dialami,” katanya pasrah.
Sementara itu salah seorang perangkat Desa Nglanjuk, Susi Reslili (35) yang sawahnya juga diserang ulat sundep mengaku hanya bisa memanen 4 ton tiap hektar tanahnya padahal biasanya bisa 7 ton.
“Hasil inipun setelah sebelumnya tanaman yang rusak-rusak saya sulami, kalau tidak hasilnya akan lebih buruk lagi,” ujarnya. Hasil ini tidak dapat menutup biaya produksi yang telah dikeluarkan dan tidak mencukupi kebutuhan hidup sampai panen berikutnya apalagi untuk biaya tanam yang akan datang,
Parahnya lagi harga gabah hanya sekitar Rp 220.000,- perkwintal, harga ini pada panen yang normal saja tidak cukup mengejar biaya produksi, tenaga, pupuk dan lain-lain, apalagi dalam situasi panen yang gagal seperti sekarang.
Keadaan lebih parah dialami petani di desa Getas selain tanamannya dimakan ulat sundep masih diserang hama tikus sehingga ada yang satu hektar tanahnya hanya panen satu ton saja, padahal biasanya delapan ton.
Menurut Kepala UPTD Pertanian Kecamatan Cepu, Ir Rodhi, MSi penyebab gagal panen ada beberapa sebab yakni serangan hama/ penyakit, bencana alam seperti banjir dan cuaca.
Biasanya gagal panen terjadi pada masa tanam kedua, karena banyak penyakit, karena itu harus diberi pencegahan seperti poradan, tetapi biasanya petani tidak mau karena ada tambahan biaya,” ujarnya.
Keadaan ini juga disebabkan karena penanaman padi yang tidak serempak dalam satu desa, curah hujan pada malam hari yang sangat tinggi juga factor alam lain seperti cuaca yang tidak mendukung. Situasi ini menyebabkan banyak penyakit dan hama yang menyerang tanaman padi petani.
“Pola tanam yang dipakai juga berpengaruh, misalnya padi-padi-polowijo atau padi-polowijo-padi, hal ini untuk memutuskan siklus penyakit/ hama. Kalau ditanami padi terus menerus penyakit masih menetap di lahan dan kandungan unsur kimia dalam tanahnya pun berkurang sehingga hasilnya tidak maksimal,” tambahnya. (Agt)
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar