tabloid pertama karya CAH BLORA ASLI

Sabtu, 10 Januari 2009

SR Edisi 58 - Kulanuwon -OPINI


KULANUWON
Peran Pers dan Pengisian SOTK
Rasanya cukup relevan di Blora saat ini, bila masyarakat menanyakan peran Pers, jelang pengisian personil SOTK dan APBD 2009 ini.
Penulis menyadari kalaupun fungsi Pers sendiri tidak dapat berperan langsung, dalam proses penyusunan kedua hal tersebut.
Namun demikian bila mau menarik lebih jauh, justru peran Pers sangat mewarnai bagi pengambil keputusan tertinggi (Kepda) di suatu daerah.
Dengan segala kekuatan, “kekuasaan” dan kemampuannya Pers dalah hal ini melaui pemberitaanya dapat memberi opini publik. Disamping itu khususnya bagi para pengambil keputusan, walau mungkin hanya 10% dapat dijadikan pertimbangan, sebelum mengambil keputusan.
Sebagai contoh semua media menulis si A terlibat kasus tertentu, saya yakin Pengambil keputusan (Kepda) tidak akan berani memilih si A untuk menduduki jabatan tertentu.
Andaipun berani maka secara tak langsung akan berdampak negatif terhadap dirinya, dimata masyarakat yang dipimpinya.
Akan tetapi penulis yang menyadari bahwa seorang jurnalis hendaknya menguasai dan memahami 9 elemen dalam kaidah Jurnalistik.
Saya ingin kembali mengutip pernyataan Bill Kovach dan Tom Rosentiel, dua orang pakar komunikasi massa yang berbicara soal sembilan elemen jurnalisme yaitu konsep yang menjadi tolok ukur bagi benar atau tidaknya kerja para jurnalis ketika merangkai fakta-fakta menjadi berita.
Kesembilan elemen jurnalisme itu pertama menyangkut soal kebenaran yang harus dicari terus-menerus, kedua keberpihakan kepada masyarakat, ketiga selalu melakukan verifikasi, keempat bersikap independen, kelima menjadi pengawas serta memantau kekuasaan, keenam sebagai forum publik yang menampung segala pendapat, gagasan, kritik dan saran, ketujuh jurnalisme harus ditampilkan secara memikat dan relevan, kedelapan berita yang ditampilkan haruslah proporsional dan komprehensif serta kesembilan selalu mendengarkan hati nurani.
Lantas bagaimana substansi kebenaran dalam jurnalisme seperti dipaparkan Kovack dan Rosentiel itu? Menurut mereka, kebenaran dalam jurnalistik adalah kebenaran fungsional. Hal ini perlu dipertanyakan, mengingat kebenaran seringkali tampil secara subyektif. Kebenaran yang mana? Bukankah kebenaran bisa dipandang dari kacamata berbeda-beda? Tiap-tiap agama, ideologi atau filsafat memiliki konsep “kebenaran” dengan dasar pemikiran yang berbeda-beda. Lantas kebenaran menurut siapa? Wartawan toh memiliki latar belakang sosial, agama, etnis kewarganegaraan yang berbeda-beda.
Nah, terkait dengan pertanyaan itu Bill Kovach dan Tom Rosentiel menyebut bahwa kebenaran dalam jurnalistik adalah kebenaran yang terus-menerus dicari. Kebenaran fungsional, diibaratkan seorang polisi yang melacak dan menangkap tersangka. Hakim menjalankan peradilan juga berdasar kebenaran fungsional.
Kebenaran itu, kata Kovack dan Rosentiel, senantiasa bisa direvisi. Terdakwa bisa bebas karena terbukti tak bersalah. Hakim bisa keliru. Pelajaran fisika, biologi, bisa salah. Hukum ilmu alam pun bahkan bisa direvisi.
Hal ini pula yang dilakukan jurnalisme. Bukan kebenaran dalam arti filosofis, tapi kebenaran dalam tataran fungsional. Kebenaran dibentuk melalui proses berlapis-lapis, kebenaran dibentuk hari demi hari.
Karena itu kebenaran harus dibangun oleh jurnalis profesional yang memiliki komitmen tinggi. Diperlukan pribadi yang jujur, bertanggung jawab, disiplin, visioner, mau bekerja sama, adil dan peduli. (Penulis: Drs.Ec.Agung Budi Rustanto, Redaktur tabloid Suara Rakyat)

Tidak ada komentar: