tabloid pertama karya CAH BLORA ASLI

Kamis, 05 Maret 2009

SR Edisi 62 -KULANUWON




Kontrak Politik dan Jerat Hukum Caleg Terpilih
KONTRAK politik merupakan sebuah pernyataan normatif yang dimanifestasikan sebagai komitmen dari seorang politisi dalam menjalankan tugas dan kewajiban berpolitiknya. Kontrak politik tidak sepenuhnya identik dengan janji kesetiaan,kepatuhan dan ketaatan. Berbeda dengan sumpah jabatan.Idealnya, klausul kontrak politik adalah klausul antara sumpah jabatan dan janji kesetiaan.
Bentuk klausul kontrak politik sangat subjektif dan variatif. Seorang presiden misalnya, berhak membuat dan menentukan klausul kontrak politik buat para pembantunya (menteri) dalam kabinetnya. Butiran-butiran klausulnya merupakan hak prerogratif presiden. Kontrak politik bertujuan agar seorang pejabat yang menjalankan roda pemerintahannya, tetap tunduk dan patuh pada undang-undang hukum yang berlaku. Ia berjalan seiring norma yang digariskan, tak melanggar rambu yang ditentukan, tidak menyalahi kode etik yang ditetapkan.
Persoalannya, bila presiden membuatkan kontrak politik untuk menteri di kabinetnya, siapakah yang berhak dan seharusnya membuatkan kontrak politik bagi anggota DPR dan DPRD? Siapapun yang merumuskan butiran-butiran klausul kontrak politik bagi anggota legislatif, sebaiknya dari pakar yang kompeten dalam bidang hukum agama dan pidana. Masing-masing dari anggota legislatif membubuhkan, di atas materai, tanda-tangan di dalam kontrak politik yang telah disetujuinya.
Disamping itu juga harus disahkan (dikuatkan) oleh Mahkamah Agung (MA), Jaksa Agung (Jakgung) serta Menteri Kehakiman dan Hak Asasi Manusia (Menkeh HAM).Ketiga lembaga tinggi negara (MA, Jakgung dan Menkeh HAM).
Ini berfungsi sebagai pihak yang menjustifikasi efektivitas kontrak politik tersebut, sebagai undang-undang hukum pidana bagi anggota DPR dan DPRD, yang melakukan tindak pidana, semisal korupsi, kolusi dan tindak pidana lainnya.
Berarti, kontrak politik ini materinya berisi undang-undang hukum tersendiri yang dirumuskan oleh pihak-pihak yang jujur, adil dan memiliki integritas keilmuan yang sangat memadai serta mumpuni.
Pesta demokrasi rakyat berupa Pemilihan Umum (Pemilu) dan Pemilihan Calon Legislatif (Caleg) 2009-2014, gemanya sudah sangat kencang. Baliho-baliho caleg dari setiap partai politik (parpol) telah menjadi sinyal intensitas dimulainya pesta rakyat yang penuh ingar bingar ini.Para caleg yang berduit, baliho-balihonya menghiasi di setiap perempatan atau pertigaan jalan, baik di tengah kota maupun di desa, sesuai daerah pemilihan (dapil) caleg yang bersangkutan.
Tak sedikit dari caleg itu yang sudah mengucurkan dana untuk ‘mengolusi’ tokoh-tokoh masyarakat yang berpengaruh.Seorang caleg yang berkantong tebal, tidak mustahil menyediakan dana miliaran rupiah untuk menggapai ambisinya menjadi anggota DPR, DPRD Provinsi atau DPRD Kabupaten.Apalagi, sistem pemilihan caleg yang berdasarkan nomor urut sudah dihapuskan.
Terbuka peluang sama, memberikan motivasi tersendiri bagi caleg yang bersangkutan. Tensi persaingan antarcaleg yang terkesan ‘arogan’ ini, telah menimbulkan asumsi-asumsi miring, seputar kemungkinan akan meningkatnya tindak korupsi dan kolusi.
Logikanya, bila seorang anggota legislatif telah mengeluarkan dana miliaran rupiah dalam pencalonannya, maka ketika ia terpilih, akan terbersit dalam pikirannya, bagaimana secepatnya mengembalikan dana yang telah dihabiskannya dalam masa kampanye. Bertindak korupsi atau kolusi adalah salah satu solusi cepat dan tepat untuk mengembalikan dana itu.Mengantisipasi tindak korupsi dan kolusi, yang mungkin saja akan dilakukan anggota DPR dan DPRD, sebaiknya materi (klausul) kontrak politik berisi undang-undang hukum yang tertulis dan disahkan.
Di Negeri Malaysia, undang-undang hukum pidana semisal hukuman cambuk sudah sering diberlakukan.disana, juga menerapkan hukuman Mati dengan cara digantung. Apalagi Arab Saudi, sudah sering kali menghukum koruptor (pencuri) dengan cara dipotong tangannya. Bahkan, China pernah menembak mati koruptor yang menilep uang rakyat.
Di Indonesia, materi kontrak politik yang telah digubah menjadi undang-undang hukum pidana, yang pantas bagi segenap anggota legislatif, bisa jadi meniru negara lain meski dengan sedikit perubahan. Misalnya, korupsi/kolusi senilai Rp 1 s/d Rp 5 juta, akan dicambuk 25 kali dan penjara 5 tahun. Atau, boleh jadi, korupsi/kolusi Rp 100 juta s/d Rp 1 miliar, tangannya dipotong serta penjara 15 tahun. Atau, korupsi/kolusi Rp 500 miliar ke atas, dilakukan hukuman mati.Klausul kontrak politik ini bertujuan membuat jera anggota dewan yang telah dipercaya rakyatnya.
Item-item klausul semestinya memberikan kesan keras dan mendidik. Apapun yang dilakukan oleh anggota legislatif, baik dari ucapan, tindak tanduk dan perbuatannya tercurah untuk kepentingan rakyat, bukan untuk memperkaya diri sendiri.Ironis, jika uang rakyat ratusan miliar rupiah yang ditilep beberapa oknum anggota legislatif, pelakunya hanya divonis penjara 6, 7 atau mungkin hanya 2 tahun.
Belum lagi kalau yang bersangkutan mendapatkan remisi dari pemerintah. Bisa-bisa mendekamnya di penjara hanya 1 tahun saja, bahkan kurang dari itu.Anggota DPR dan DPRD adalah panutan dan teladan. Jadi, berjuang dengan banyak berbuat baik demi menyejahterakan rakyat, bukan berbicara banyak demi menutupi aibnya dan membohongi rakyat.Bila boleh meminjam istilah Sekda Blora Bambang Sulistya saat membuka Reorganisasi Persikaba adalah kalimat Sepi ing pamrih, rame ing gawe (sedikit berbicara, banyak bekerja) sepatutnya dimanifestasikan dalam kehidupan berpolitik para wakil rakyat yang terhormat, khususnya di Blora tercinta. (Penulis Drs Ec. Agung Budi Rustanto, Redaktur Tabloid Suara Rakyat)

Tidak ada komentar: