tabloid pertama karya CAH BLORA ASLI

Minggu, 29 Maret 2009

SR edisi 64 - KULANUWON & OPINI


Sinisme Dalam Pemilu 2009

Tidak bisa dipungkiri bagi partai politik kehadiran pejabat yang punya pengaruh luas, serta sangat dikenal publik akan dimanfaatkan. Padahal, hal itu, sebatas symbol, karena kampanye paling efektif bagi pejabat adalah kinerjanya di pemerintahan selama ini. Itulah yang dilihat dan dinilai oleh publik. Jadi berupa fakta atau data empirik. Bukan janji atau slogan kosong.
MULAI Senin (16/3/2009), kampanye terbuka menghadapi Pemilu Legislatif dimulai. Di Blora, kampanye diawali dengan deklarasi bersama untuk menyukseskan pemilu dan siap melakukan kampanye damai. Meski beraroma basa-basi, kita harus mendukung upaya-upaya yang ingin mewujudkan agar Pemilu 9 April berlangsung aman dan sukses.
Harapan mendapatkan hasil pemilu yang berkualitas sungguh relevan bila direlasikan dengan sinisme publik terhadap kondisi anggota legislatif sekarang ini, baik di daerah maupun pusat. Para caleg harus menerima kenyataan tidak menyenangkan. Ragam kasus tentang penyimpangan perilaku sejumlah oknum anggota DPRD dan DPR terus terungkap.
Pengungkapan ini menambah bobot pada persepsi buruk publik tentang anggota legislatif. Akibatnya, jutaan poster, bendera dan alat peraga kampanye lainnya lebih sering menerima cibiran. Muncul keluhan di sana-sini, karena penempatan semua alat peraga kampanye yang asal-asalan itu justru lebih terlihat mengotori wajah kota atau lingkungan.
Sinisme publik menjadi tantangan berat bagi para caleg. Mereka harus mengubahnya menjadi simpati publik, dan mendapatkan suara publik sebanyak-banyaknya. Tidak mudah, karena persepsi publik terhadap anggota legislative, telanjur buruk.
Namun, lebih baik terus berusaha daripada tidak sama sekali. Para caleg punya waktu lebih dari cukup untuk melakukan pendekatan kepada konstituen selama periode kampanye dialogis selama kurang lebih tiga minggu, dari Senin (16/3/2009) hingga Minggu (5/4) 2009.
Apakah kampanye terbuka ini bakal berlangsung tertib tanpa ekses? Belum ada jaminan. Tapi, membaca antusiasme publik, ekses kampanye terbuka mestinya bisa dicegah.
Masyarakat tampak muali malas melibatkan diri dalam kegiatan kampanye politik. Artinya, potensi pengerahan massa untuk arak-arakan di jalan sangat kecil. Semua caleg dan parpol hanya bisa mengandalkan simpatisan mereka yang jumlahnya relatif kecil. Para caleg masih bisa menjaga kualitas kampanye.
Ceritanya jadi lain, jika para caleg dan parpol memaksakan diri menghadirkan massa dalam jumlah sebanyak-banyaknya. Misalnya, dengan membayar setiap orang yang bersedia ikut kegiatan rapat terbuka dan arak-arakan. Kalau ini dilakukan, sudah terbentuk potensi ekses dari kampanye terbuka.
Sudah terbukti sejak lama, massa tak peduli esensi kampanye. Massa lebih menikmati kebebasan berperilaku ugal-ugalan di jalan atau bergoyang menikmati musik dangdut di lapangan.
Kita berharap para caleg dan parpol mau menahan diri dalam pengerahan massa. Dengan sistem keterpilihan dalam Pemilu Legislatif 2009, pengerahan massa ke jalan praktis tak punya nilai tambah apa-apa. Daripada merugi membayar massa, lebih produktif jika caleg melakukan kampanye terbatas di ruang-ruang tertutup, berdialog dan menyerap aspirasi konstituen, sambil terus berkoordinasi dengan tim sukses masing-masing.
Kampanye terbatas dari rumah ke rumah, dari ruang publik yang satu ke ruang publik lain. Rapat terbuka atau arak-arakan massa sudah harus ditinggalkan karena memang tidak efektif.
Tak ada yang bisa mencegah keikutsertaan pejabat berkampanye. Presiden, wakil presiden, 10 menteri hingga 67 pejabat di daerah, yakni gubernur, bupati dan wali kota, sah-sah saja melakukannya. Asal, mengambil cuti dan tidak menggunakan sama sekali fasilitas negara. Dalam praktiknya sangat sulit dan siapa yang mengawasi. Banyak aturan yang secara protokoler sudah baku dan itulah yang sering membuat rancu, termasuk aturan mengenai pengawalan atau pengamanan.
Bukan itu sebenarnya yang penting. Sangat disayangkan, jika karena berkampanye kinerja pemerintah pusat dan daerah terganggu. Boleh jadi, secara teknis harus diatur cuti secara bergiliran, termasuk presiden dan wakil presiden. Namun apa bisa? Sebab, ada perangkapan antara pengurus partai politik dengan jabatan di pemerintahan.
Jujur saja, kita mempertanyakan masih perlukah pejabat berkampanye? Bagi partai politik kehadiran pejabat yang punya pengaruh luas serta sangat dikenal publik akan dimanfaatkan. Padahal, hal itu, sebatas symbol, karena kampanye paling efektif bagi pejabat adalah kinerjanya di pemerintahan selama ini. Itulah yang dilihat dan dinilai oleh publik.
Jadi berupa fakta atau data empirik. Bukan janji atau slogan kosong. Kalau dipaksakan meninggalkan tugas malah bisa menimbulkan kesan negatif. Sosok pejabat seharusnya lebih mengedepankan sebagai milik masyarakat luas milik rakyat yang dipoimpinya.
Sudah tak mungkin lagi menolak kehadiran pejabat dalam kampanye karena jadwalnya sudah dipastikan. Kita hanya mengingatkan agar tidak sampai mengganggu kinerja pemerintahan. (Penulis: Drs.Ec.Agung Budi Rustanto, Redaktur Tabloid Suara Rakyat)

Tidak ada komentar: