tabloid pertama karya CAH BLORA ASLI

Senin, 13 April 2009

Opini Hasil Pemilu 2009

Kulanuwon

Mengantisipasi Orang-orang Kecewa Baru

Saya punya teman sebut saja bernama Hariyanto. Dia seorang caleg Golkar untuk DPRD Jateng dengan daerah pemilihan Blora (Dapil) sekitarnya. Dalam berkampanye, dia tidak menghamburkan uang, cukup melalui pendekatan kepada kelompok-kelompok masyarakat. Dana yang ia keluarkan sedikit sekali, Rp 50 juta.

Padahal teman-temannya sesama caleg rata-rata sudah menghabiskan Rp 500 juta.
“Kalau dengan cara pendekatan dari hati ke hati ini, saya terpilih maka saya akan bekerja keras untuk kepentingan rakyat. Tapi jika saya tak terpilih. Semua saya ikhlaskan. Rakyat yang menentukan,” kata Hariyanto.

Langkah Hariyanto ini menjadi bahan tertawaan sesama caleg. Dia dianggap aneh. Masak untuk merebut kursi menjadi ‘orang terhormat’ dengan penghasilan sekitar Rp 30 juta sebulan sebagai anggota DPRD Jateng, hanya bermodal Rp 50 juta.

“Saya saja yang sudah mengeluarkan Rp 500 juta, belum tentu terpilih,” ujar seorang caleg dari partai besar lainnya.

Menurut dia, modal untuk caleg DRPD kabupaten/kotamadya sekitar Rp 200-300 juta, DPRD provinsi sekitar Rp 600 juta, untuk DPR-RI dana yang harus disiapkan Rp 2-3 miliar. “Dengan dana sebesar itu saja belum tentu terpilih , apalagi cuma Rp 50 juta,” katanya sambil tertawa.

Siapa yang salah, Hariyanto atau orang yang menertawakannya itu? Jika Anda menilai bahwa yang benar adalah Hariyanto, maka tidak akan ada caleg yang stres berat dan masuk rumah sakit jiwa usai pemilihan legislatif. Juga tidak ada caleg yang menggandakan uang untuk biaya kampanye serta Juga tidak akan ada caleg yang sampai menggadaikan rumah dan mobilnya seperti yang sering disiarkan di televisi.

Namun, jika Anda tidak sepakat dengan langkah Hariyanto, maka yang terjadi seperti sekarang ini. Caleg ramai-ramai cari modal dengan berbagai cara agar dapat suara sebanyak-banyaknya agar bisa ‘nangkring’ di kursi DPRD/DPR-RI. Setelah menjadi ‘orang terhormat’ lalu lupa dengan rakyatnya karena ia merasa sudah membayar kepada rakyat yang memilihnya. Jadi wajar saja kalau nanti wakil-wakil di DPR lupa dengan janjinya-janjinya saat kampanye.

Dalam masa kampanye, rakyat seolah-olah berpesta dengan cara mengeksploitasi secara langsung maupun tidak langsung para caleg. Kita lihat berapa puluh triliun dana yang dikeluarkan para caleg mulai DPR-RI sampai DRPD kabupaten/kotamadya se Indonesia.

Jika untuk DPR-RI dan DPD ada 12. 417 caleg dan masing-masing mengeluarkan Rp 1,5 miliar, maka ada uang sekitar Rp 18 triliun yang ‘disalurkan’ ke masyarakat baik untuk pembuatan baliho, poster, iklan dan bantuan langsung. Jumlah yang lebih besar lagi datang dari para caleg DPRD provinsi dan DPRD kabupaten/kotamadya yang jumlahnya ratusan ribu caleg.

Bisa dikatakan, semasa kampanye rakyat berpesta dengan uang dari para caleg. Kini, setelah contrengan 9 April, yang pesta akan berganti kepada para caleg yang terpilih. Selama 5 tahun mereka akan menikmati modal yang sudah dikeluarkan, plus dengan keuntungannya. Bentuk keuntungannya bisa bermacam-macam antara lain keuntungan dari penghasilan, kenikmatan sebagai ‘orang terhormat’ dengan segala fasilitasnya.

Bagaimana dengan caleg yang tak terpilih? Taruhlah perbandingannya 1: 10, artinya dari 10 caleg hanya satu yang terpilih, lalu yang 9 caleg mau ke mana? Inilah kerawanan yang perlu diwaspadai setelah pemilu legislatif. Bagi caleg yang ikhlas seperti Haraiyanto maka dia tidak akan berbuat onar jika tak terpilih. Namun bagi mayoritas caleg yang sudah berkorban luar dalam tapi tak terpilih, maka ia akan menjadi orang kecewa baru. Ke mana mereka akan melampiaskan kekecewaannya itu ?

Orang-orang kecewa baru yang berasal dari para caleg yang kalah, bisa saja melampiaskan kekecewaannya pada kekurangan-kekurangan proses pemilu, yang sebelumnya memang telah disoroti oleh sejumlah partai (khususnya partai nonpemerintah).

Padahal, sistem baru pemilu 2009 begitu rumit, bahkan paling rumit di dunia, sehingga sulit menghindari kekurangan. Yang sudah ditemukan, ada nama ganda dalam daftar pemilih tetap (DPT). Atau ada warga yang masuk DPT tapi tak mendapat undangan memilih, sehingga tak bisa mencontreng; adanya surat suara tertukar dll.

Bisa pula terjadi orang-orang kecewa baru itu akan merenungi nasibnya karena masih terbayang modal besar yang telah melayang hilang. Pasti ada di antara mereka yang terlilit utang dan tak tahu bagaimana cara membayarnya. Caleg-caleg stres yang bahkan cenderung kepada gangguan jiwa, tentu akan tidak sedikit. Rasanya tidak berlebihan jika di akhir tulisan ini, saya menjelaskan konsep apa yang terjadi dalam konteks pemilu legislatif yang baru kita jalani bersama. Sebab para caleg atau setiap orang (terutama yang punya ambisi besar dalam bisnis) belum tentu bisa menerima kenyataan hidup.

Mereka hanya bisa menerima realitas seperti yang terkonsep di dalam pikirannya saja. Ia tidak siap kalah meskipun dia sering mengatakan menang atau kalah dalam pemilu itu biasa.

Ucapan dan kata hatinya berbeda bahkan bertentangan. Ia paham betul bahwa dalam 10 caleg hanya satu yang terpilih sedangkan yang 9 gagal. Ia hanya siap untuk menjadi yang satu, bukan yang sembilan yang gagal itu.

Konsep yang yang saya tulis ini memang tak bisa dipisahkan dari agama. Sebab dalam agama orang diajari berperilaku ikhlas. Sedangkan pendidikan berpolitik praktis, justru tampak menjauhi rasa ihklas. Karena itu rasa ikhlas ini harus dipelajari sendiri oleh para caleg agar tumbuh pola pikir dan perilaku pada kenyataan yang terjadi.

Pemikiran apa yang akan terjadi bukan dalam arti sempit seperti “Nanti saya bisa terpilih atau tidak” tapi lebih dalam dari itu yakni “saya nanti senang (bahagia) atau susah ( sengsara)”. Jika ternyata apa yang telah Anda kerjakan berakhir dengan kekecewaan, maka berarti Anda termasuk orang yang tidak iklas.

Sebenarnya mudah saja untuk mendapatkan indikator apakah Anda seorang yang “Iklas” atau sebaliknya. Jika Anda sudah merasa senang memberi daripada menerima, atau Anda selalu bersyukur dengan keadaan sekarang ini, maka Anda sudah masuk katagori orang yang “Iklas yang terjadi” (Penulis:Drs Ec. Agung Budi Rustanto, Redaktur Tabloid Suara Rakyat)

Tidak ada komentar: