tabloid pertama karya CAH BLORA ASLI

Sabtu, 04 April 2009

SR Edisi 65 - BLORA & KULANUWON









3 Bulan capai 50 Persen lebih
Blora, Suara Rakyat.-
Target yang dibebankan SKPD baru pada tahun ini, ternyata cukup realistis dalam pencapaianya.
Seperti pada Badan Perijinan dan Pelayanan Terpadu (BPPT) Blora dibawa pimpinan Heru Sutopo, cukup menjanjikan dalam pencapaian target tersebut. Dari target Rp. 800 juta yang dibebankan pada instansinya dalam 3 bulan setelah kantor ditetapkan telah merealisasi sebesar kurang lebih Rp. 500 juta.
“Walau kantor kami baru dan diberi target PAD sebesar Rp.800 juta, sampai dengan akhir bulan Maret telah berhasil menyetor kekas daerah lebih dari 50 perset dari target,” kata Heru Rabu (1/4) diruang kerjanya.
Menurut mantan kepala dipenda Blora ini, dana yang didapat pada SKPDnya berasal dari 400 SIUP Baru yang telah dikeluarkanya.
“Kami memang menekankan agar pada triwulan pertama agar para karyawan BPPT untuk bekerja keras, agar nantinya target yang dibebankan dapat terrealisasikan,”jelas Heru.
Hal ini bisa dilihat dari ke 400 SIUP tersebut, sekitar 25 perusahaan yang mengurus ijin adalah perusahaan yang berskala besar. Sedang Perusahaan berskala sedang sebanyak 75 dan berskala kecil sebanyak 300 perusahaan.
“Perusahaan besar yang bermodal diatas Rp.1 milyar, untuk skala kecil bermodal dibawah 200 juta. Interval kedua nilai modal itu, yakni 200 juta – kurang dari Rp. 1 Milyar kami golongkan skala menengah,” ungkap Heru Sutopo.
Untuk itulah dia berharap apapun usaha masyarakat Blora, hendaknya memintakan ijin resmi dari instansinya. Alasannya bila nanti ada berupa kucuran dana bantuan usaha yang didapat dari pusat, provinsi dan Kabupaten maka perusahan yang telah mempunyai ijin lebih diutamakan.
Ketika didesak SR apakah dirinya sanggup menjamin dalam pengurusan ijin, tidak dipersulit atukah dibebani biaya yang mahal, heru menyatakan sanggup. “Kami menjamin pengurusan perijinan tidak akankami persulit, karena kami juga dipantau langsung oleh deputi MenPAN,”tegasnya. (Roes)


159 Anggota TNI/Polri & 46 anak di bawah umur masuk DPT
BLORA, SR – Data jumlah anggota TNI/Polri yang masuk daftar pemilih tetap (DPT) dalam pemilihan umum (pemilu) 2009 cukup mengejutkan. Data Senin (30/3) malam, di Blora saja sudah terdata 159 orang, dan diperkirakan jumlah itu akan terus membengkak.
Dari 159 orang anggota TNI/Polri yang nama-namanya masuk DPT, hasil klarifikasi lapangan Panitia Pengawas Pemilihan Umum (Panwaslu) Blora, terbanyak ada di Kecamatan Randublatung (54 personil), Kecamatan Jepon (39 personil), Kecamatan Tunjungan (14) dan sisanya tersebar di sebelas kecamatan lainnya antara 2-8 nama.
”Data angggota TNI/Polri yang masuk DPT ada di 14 kecamatan, dua kecamatan lainnya tidak ditemukan,” kata Hestiningsih, anggota Panwaslu Blora Koordinator Bidang Umum dan Pembinaan Organisasi (UPO).
Menurutnya, Panwaslu Kecamatan bersama Pengawas Pemilu Lapangan (PPL) di 295 desa/kelurahan se-Blora, saat ini masih sibuk melakukan klarifikasi, termasuk data DPT ganda, pemilih yang meninggal dunia, pemilih tidak jelas, pemilih masuk DPS tidak muncul DPT dan masalah lainnya. ”Hasil rakor dengan Panwaslucam se-Blora, ada 118 anggota TNI dan 41 anggota Polri masuk DPT, ” jelas Hestiningsih.
MD masuk DPT
Masuknya beberapa anggota Polri yang masuk dalam daftar pemilih tetap (DPT) pemilu 2009 membuat Kapolres Blora AKBP R Umar Faroq merasa prihatin. Menurut Kapolres adanya anggotanya yang masuk DPT merupakan murni kesalahan saat pendataan yang dilakukan oleh petugas, bukan unsur kesengajaan dari anggota Polri. Sebab telah ditegaskan bahwa semua anggota polisi harus bersikap netral.
”Bukan polisi yang nyelonong masuk DPT namun kesalahan saat pendataan yang dilakukan, padahal pendataan itu dilakukan sejak lama dan tidak di cocokkan lagi sampai saat ini,” ungkap R Umar Faroq kepada SR , Senin (30/3).
Dari data yang diperoleh bahwa dari 41 anggota yang masuk DPT kebanyakan adalah yang masih muda dan baru menjadi anggota polisi. Saat pendataan katanya anggota yang masuk DPT,masih berstatus sebagai pelajar atau belum jadi polisi, saat itulah dia terdaftar sebagai pemilih. ”Setelah jadi polisi ternyata data itu tidak dihapus, jadi tidak ada unsur kesengajaan,” tambahnya. Untuk itu Kapolres berharap agar petugas tidak memberikan undangan kepada anggotanya yang masuk dalam DPT sehingga tidak akan memilih.
Selain nama anggota TNI/Polri yang masuk DPT terus bertambah, ternyata jumlah DPT ganda juga terus meninggi, dari sebelumnya yang hanya 512 orang, Senin malam terdata mencapai 1.828 lebih, pindah tempat 387 orang dan masuk DPS tidak muncuk di DT 152.orang.
Anak di bawah umur yang sebelumnya hanya masuk empat orang di wilayah Kecamatan Kota Blora, satu diantaranya baru berusia 2,4 tahun dengan status KK sudah menikah, jumlahnya juga bertambah menjadi 46 anak yang masuk DPT, terbanyak di Kecamatan Kota Blora (13), Japah (7), Jiken (6), Banjarejo (6) dan kecamatan lainnya..
Sementara ini pemilih yang meninggal dunia (MD) masih masuk di DPT mencapai 1.526, padahal ada yang sudah meninggal 3-5 tahun lalu, terbanyak di Kecamatan Blora (302), Banjarejo (301), Japah (265), Sambong (195) dan kecamatan lainnya. (Gie)


Kulanuwon

Partisipasi Tionghoa dalam Pemilu 2009
(oleh :Drs.Ec.Agung Budi Rustanto*)

Dalam pemilu 2009 ini besarnya animo warga Tionghoa, untuk jadi caleg atau berperan dalam parpol menunjukkan makin adanya kesetaraan antara warga Tionghoa dengan yang lain di negeri ini. Dengan berpolitik, warga Tionghoa ingin menentukan masa depan, khususnya masa depan Indonesia yang lebih sejahtera, adil dan tidak ada lagi praktek diskriminasi.
Pileg 9 April dan Pilpres 9 Juli 2009 siap digelar. Sebagai bagian integral bangsa, warga Tionghoa tak mau ketinggalan berperan serta. Beberapa waktu lalu tanpa sengaja penulis saat berkunjung ke tempat mertua, tepatnya 11 Maret 2009 di Surabaya, mengikuti diskusi bertajuk ‘Masa Depan Politik Tionghoa’. Para caleg Tionghoa lintas parpol asal Surabaya hadir pada kesempatan itu.
Peran serta warga Tionghoa dalam Pileg dan Pilpres boleh jadi layak dicatat oleh Muri, karena memang ada minat dan antusiasme yang luar biasa, seperti diungkapkan Hendy Prayoga. Dalam rekor jumlah caleg, ada peningkatan 100 persen lebih bila dibanding Pileg 2004.
Jika pada 2004, ada 100 warga Tionghoa memberanikan jadi caleg, kini jumlah yang masuk dari total 11.000 caleg (baik untuk pemerintah pusat, tingkat I dan II), terdapat 213 caleg Tionghoa yang tersebar di 38 parpol. Di jalan-jalan protokol di kota-kota besar seperti Surabaya atau Jakarta. Bahkan Blora foto dari beberapa caleg Tionghoa diantaranya Erwin (putra H Tiksun), Ike (pemilik Aman Seluler), Sefiana (Jepon), Hari Riyanto dan lain-lain, sudah akrab dengan publik Blora.
Apa yang dicari para caleg Tionghoa? Banyaknya caleg Tionghoa bisa dijadikan indikasi betapa warga Tionghoa tidak sekadar punya kesadaran politik, tetapi juga punya gairah politik yang tidak bisa dianggap kecil lagi. Seperti diketahui, pasca-Tragedi 1965, warga Tionghoa tenggelam dalam kancah perpolitikan Indonesia, seiring dengan kebijakan Orba yang menggiring etnis Tionghoa untuk menjauhi arena politik.
Akhirnya, cap sebagai “homo economicus” pun lebih melekat pada komunitas ini. Bahkan, sebagian generasi tua dari warga Tionghoa yang mengalami pahit getir dituduh mendukung PKI dan RRT, hingga sekarang masih mengidap trauma setiap kali bicara politik.
Keberanian sebagaian warga untuk menjadi caleg dalam Pileg 2009, menurut hemat penulis, layak disyukuri. Yang penting, mereka berani mencoba terjun di arena politik praktis. Mereka tidak lagi diinggapi ketakutan untuk berpolitik.
Meski sudah ada caleg Tionghoa, apakah suara etnis Tionghoa otomatis akan jatuh kepada para caleg Tionghoa? Mustofa Liem, Dewan Penasihat Jaringan Tionghoa untuk Kesetaraan, tentu saja jawabnya adalah tidak. Sebab belum tentu juga para caleg Tionghoa itu bisa dengan mudah mendulang suara dari suara warga Tionghoa yang hanya 5 persen dari 225 juta penduduk negeri ini.
Bisa dipastikan suara warga Tionghoa sebagian besar akan jatuh pada caleg yang bukan Tionghoa. Bila warga Tionghoa hanya memilih para caleg Tionghoa atau katakanlah ada skenario bahwa warga ini wajib memilih caleg dari warga Tionghoa, maka ini justru sebuah “set back” atau kemunduran. Kalau demikian, itu berarti bangkitnya kembali politik primordialisme.
Oleh sebab itu, suara warga Tionghoa diserahkan saja pada hati nurani masing-masing pemilihnya. Ada baiknya, suara warga Tionghoa diberikan kepada caleg terbaik, yang punya visi kebangsaan dan kemanusiaan demi masa depan Indonesia yang lebih baik
Perlu dipertimbangkan platform dan track record caleg. Pertimbangkan juga level pendidikan, integritas pribadi dan moral, serta perilaku politik yang baik. Yang penting lagi, dalam Pileg atau Pilpres kali ini ada peran serta atau partisipasi aktif.
Lebih baik memang tidak golput, meski bila ada yang golput kita harus menghargai, karena golput yang muncul dari pilihan nurani sebenarnya juga merupakan sebuah pilihan politik. Apalagi toh, pemilu bukan obat mujarab yang bisa menyelesaikan persoalan bangsa dalam waktu singkat.
Jangan lupa pula, memberikan suara dalam Pileg atau Pilpres adalah tugas mulia juga untuk berpartisipasi aktif dalam politik. Tak perlu semua harus jadi caleg. Menurut Amien Rais, sebenarnya terlalu sempit jika kalangan Tionghoa hanya bermain di wilayah politik kepartaian.
Politik kekuasaan atau kepartaian dengan menjadi caleg, sebenarnya merupakan lahan kecil saja bagi warga Tionghoa. Jadi ikut memilih punya makna signifikan. Seperti diketahui ada perbedaan antara politik kekuasaan (power politics) dan politik kenegaraan (state politics). Keterlibatan aktif dalam politik kepartaian merupakan realisasi dari politik kekuasaan.
Tujuan dari perjuangan politik partai adalah meraih posisi atau kekuasaan lewat kursi legislatif atau kursi nomor satu di negeri ini. Sedangkan wilayah gerak politik kenegaraan mengatasi kerja politik partai. Politik kenegaraan bertujuan mengupayakan kebaikan bersama semua warga (bonum commune).
Di atas segala-galanya, besarnya animo warga Tionghoa untuk jadi caleg atau berperan dalam parpol menunjukkkan makin adanya kesetaraan antara warga Tionghoa dengan yang lain di negeri ini.
Memang tidak ada demokrasi, jika prinsip kesamaan dan kesetaraan di dalam berpolitik diingkari. Dengan berpolitik, warga Tionghoa tidak ingin dianggap sebagai pelengkap penderita saja seperti pada masa lalu. Mereka tak ingin keberadaan atau eksistensinya ditentukan pihak lain. Dengan berpolitik, warga Tionghoa ingin menentukan masa depan, khususnya masa depan Indonesia yang lebih sejahtera, adil dan tidak ada lagi praktik diskriminasi.
Tentu saja, masa depan seperti itu tidak bisa diupayakan sendiri. Sebagaimana dalam politik ada koalisi lintas parpol, demikian pula dalam realita hidup, kita juga tidak mungkin sendirian atau bersikap ekslusif dan tertutup. Hanya dengan jalinan kerja sama atau sinergi dengan berbagai komponen bangsa, masa depan cerah seperti itu akan bisa kita gapai bersama.

*) Redaktur tabloid Suara Rakyat

Tidak ada komentar: