tabloid pertama karya CAH BLORA ASLI

Jumat, 12 Maret 2010

SRBLORA - PERSAINGAN CABUP MULAI HANGAT


Fokus

Jelang Pilbup Blora

2 Pasang Kekuatan Besar akan Rebut Simpati

BLORA, SR- Jelang pendaftaran cabup dan cawabup Blora yang akan yang akan mulai 13-19 maret 2010 suasana persaingan mulai tampak nyata.

Hal in terlihat dari banyaknya alat sosialisasi seperti baliho, spanduk, stiker sampai kalender para kandidat cabup atau cawabup, yang akan berlaga pada 3 Juni mendatang.

Alat-alat sosialisasi tersebut sebagai bentuk nyata mereka, yang akan merebut kursi Blora 1 dan Blora 2.

Beberapa prediksi masyarakat terhadap pasanan Cabup dan Cawabupun mulai ramai dibicarakan. Wacana tersebut diantara Yudi Sancoyo akan berpasangan dengan Hestu Subagyo, Joko Nugroho akan bergandengan dengan Abu Nafi sebagai wakilnya.


Demiakian juga dengan H Warsit akan berpasangan dengan Lusiana Marianingsih sebagai wakilnya.

Sedang Sutikno yang telah sosialisasi dengan memasang Baliho stiker dan kaos sampai saat ini belum jelas siapa pasangannya. Demikian juga wacana ijin diriya untuk mencalonkan dii sebagai cabup belum turun.

Namun demikian banyaknya pasangan yang akan mencalongkan diri tersebut menurut penilaian masyarakat akan mengkristal pada 2 pasang cabup dan cawabup yang nantinya akan saling berpeluang.

Kedua pasangan yang drediksi akan banyak mendulang suara yakni Yudhi-Hestu dan Joko(kokok)-Abu.

Indah ibu rumah tangga Blora saat mintai komentarnya memprediksi pasangan Yudhi-Hestu akan unggul sedikit dibanding Joko-Abu. Alasannya masyarakat sudah lebih kenal Yudhi dibanding yang lain.



“Disamping pak Yudhi dikenal lebih dulu, pak Yudhi orangnya rajin turun kedaerah itu salah satu modalnya,” katanya di amini 2 ibu lain saat berbelanja.

Sedang Naryo salah satu pedagang di Cepu lebih menjagokan Joko Nugroho- Abu akan menang pada pilbup mendatang.

Asumsinya cukup sederhana, karena Joko Nugroho asli Cepu sangat merakyat di kota migas ini.

“Juga karena nama Basuki Widodo (alm) masih harum dan melekat dihati masyarakat sini, dan Pak Kokok (Nama akrab Joko Nugroho-red) adalah adikya, tentunya masyarakat tak akan melupakan jasa yang ditinggalkan almarhum,” jelasnya.

Saat ditanya apakah ada calon lain yang dikenal di Cepu selain Kokok, dia menjawab Yudhi Sancoyo. Namun dirinya meragukan Yudhi akan dipilih oleh masyarakat Cepu dan sekitarnya, karena bukan orang Cepu yang terkenal punya solideritas sesama daerah yang cukup tinggi ini.

Ketika disinggung nama Hestu Subagyo warga Cepu sebagai pasangan Yudhi, beberapa pedagang dipasar terlihat asing dengan nama itu.

“Siapa to Hestu kok kami baru dengar, Kalau Yudhi kami memang tahu,” tambah Yanto teman Naryo diiyakan 7 pedagang lainnya yang mengelilingi wartawan SR saat dikonfirmasi Senin (1/3) lalu.

Demikian juga didaerah Barat Blora eks Kawedanan Ngawen dua nama yang paling dikenal masarakat yakni Yudhi Sancoyo dan Abu Nafi.

“Yang kami kenal dari nama-nama yang anda bawa hanya pak yudhi dan pak Abu,” kata Yanti ibu rumah tangga yang berbelanja d pasar Kunduran.

Sementara di Randublatung rata-rata masyarakat mengenal 4 nama yang akan bersaing pada Pilbup mendatang. Keempat nama tersebut yakni Warsit, Sunarto, Yudhi dan Joko Nugroho. “Saya dengar Warsit, Sunarto, Yudhi dan Koko yang akan maju,” kata Parno di warung kopi desa Pilang Randublatung.(Roes)



Kulanuwon

Nyalon Bupati Blora

Bursa calon Bupati Blora menjadi bahan diskusi gayeng di ajang jagongan Warung DPR (Dibawah Pohon Rindang) Kunden Blora Sabtu Siang pekan lalu.

Ada yang menyebut pesta demokrasi pemilihan bupati tahun ini sudah selesai, bakal kurang greget, kurang semarak, kurang seru.

”Kok bisa begitu?” tanya saya.

”Lha jelas ta Pak, lha wong calonnya dan kereta partainya aja belum jelas. Baru pak Yudhi saja yang jelas lewat Golkar. Apalagi dia incumben maka secara tak langsung sudah di atas angin,” jawab Lik Un.

”Woo lha sebentar. Jangan under estimate dulu. Kandidat yang lainnya itu belum tentu underdog, siapa tahu beliau yang satu lainnya malah jadi kuda hitam. Pokoknya pemilihan bupati belum selesai tunggu tanggal 3 Juni 2010 mendatng,” timpal mas Doni ambil suara.

”Bisa jadi begitu. Karena pemilihan Bupati itu kan bukan sekadar citra, tapi juga menyangkut dukungan politik, dukungan dana dan masih banyak lagi faktornya,” kata saya mendukung lik Un.

”Atau begini saja, biar nanti agak meriah mas Doni ikut mendaftarkan diri... nyalon jadi Bupati Blora. Siapa tahu sampeyan malah mendapat dukungan dari masyarakat luas, nama Denmas ABN & JKN itu sudah terkenal lho sekarang. Yang penting panjenengan harus punya dana, karena jer basuki mawa bea,” kata Lik Un manas-manasi.

”Wah... boleh juga ide sampeyan Mas. Kalau modalnya Rp 500 juta cukup nggak ya kira-kira,” kata Mas Doni lugu.

”Hah! Ha... ha... ha... ha. Lha kok cuma Rp 500 juta, hambok Rp 5 miliar aja kurang buanyak Mas. Paling tidak Anda harus siapkan Rp 10 miliar. Percuma kalau dananya cupet begitu, wis rasah melu-melu wae,” sergah Lik Un.

”Walah lha kok mahal amat mau nyalon jadi Bupati. Bagi saya, Rp 500 juta itu sudah peng-pengan. Itu tabungan saya seumur hidup lho. Lha kalau sampai miliar-miliaran begitu, gaji Bupati itu jumlah-e pira? Terus apa bisa balik modal nanti kalau terpilih? Ini ngajak bangkrut apa ngajak dadi Bupati?” tanya Mas Doni setengah sewot.

”Lha memang begitulah adanya. Zaman sedang berpihak kepada orang kaya untuk menjadi pemimpin daerah. Yang tidak punya uang, jangan berharap bisa menjadi bupati... semoga saja ini hanya bagian dari proses demokrasi yang sesungguhnya. Siapa tahu nanti, entah kapan itu terjadi, seorang yang menjadi Bupati tidak harus kaya yang penting memiliki kemampuan managerial, berkarakter dan memiliki kepedulian untuk menyejahterakan rakyat,” jelas Lik Un.

Tidak murah

Begitulah. Diskusi soal pemilihan Bupati Sabtu siang itu memang seru. Banyak yang baru tahu bahwa biaya politik Pilkada itu tidak murah. Bocoran dari berbagai sumber yang saya peroleh menyebutkan, seorang mantan kandidat Bupati Blora tahun 2005 silam harus mengeluarkan dana berkisar antara Rp 10 miliar hingga Rp 15 miliar.

Kalau lima tahun silam saja sebesar itu, lantas dengan perhitungan inflasi dan segala macam kenaikan harga lainnya berapa biaya yang harus disediakan seorang calon walikota tahun ini? Lalu kalau tidak terpilih? Dari mana uang sebanyak itu bisa kembali?

Bagi yang terpilih, lumayan lah. Setidaknya bisa memperoleh ”uang kembalian” dari jabatan yang dia sandang. Atau yang lebih penting adalah soal ”kehormatan” menjadi seorang nomor satu di sebuah kabupaten. Tapi soal ”balik modal” jika jujur, tentu akan sangat sulit. Kecuali kalau sang pejabat itu melakukan tindakan-tindakan yang menyimpang dari norma sosial dan hukum, korupsi misalnya.

Karena jika kita kalkulasi, gaji plus segala tunjangan yang diperoleh seorang walikota atau bupati sekitar Rp 30 juta s/d Rp 50 juta. Sesuai Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 59 Tahun 2000, tentang Hak Keuangan/Administratif Kepala Daerah/Wakil Kepala Daerah, Pasal 4 ayat (1) diatur besarnya gaji pokok bagi kepala daerah kabupaten/kota adalah Rp 2.100.000 sebulan.

Selain gaji pokok, dalam PP itu juga diatur bahwa kepala daerah dan wakil kepala daerah sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), diberikan pula tunjangan jabatan dan tunjangan lain sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku bagi pegawai negeri sipil, kecuali ditentukan lain dengan peraturan perundang-undangan.

Dalam buku Anggaran dan Pendapatan Daerah (APBD) sejumlah kota/kabupaten di Indonesia nomenklatur gaji dan tunjangan Bupati/wakil bupati jelas diatur. Jika dijumlahkan, tunjangan yang dikantongi sejumlah walikota/bupati setiap bulannya mencapai Rp 38 juta sebelum ditambah gaji pokok Rp 2,1 juta.

Sebagai contoh, seorang walikota/Bupati di salah satu kota di negeri ini memperoleh tunjangan keluarga Rp 387.750, tunjangan jabatan Rp 3.897.541, tunjangan beras Rp 203.458 dan belanja operasional Rp 34 juta. Jika ditotal dalam setahun kira-kira Rp 474.877.288. Jika menjabat selama lima tahun adalah 5 x Rp 474.877.288 = Rp 2.374.386.440 = Rp 2,4 miliar.

Pendapatan itu merupakan gaji rutin yang diatur dalam PP dan tercatat jelas nomenklaturnya. Pendapatan Bupati di luar dari pendapatan itu masih ada lagi, di antaranya bagi hasil upah pungut sebesar 2,5 persen dari pendapatan sektor pajak. Selain itu, ada pula pendapatan tak tercatat dari fee proyek dan lainnya.

Taruhlah pendapatan lain-lain itu dalam setahun mencapai Rp 2 miliar, maka dalam lima tahun adalah Rp 10 miliar. Ditambah gaji rutin Rp 2,4 miliar maka total pendapatan seorang Bupati kita asumsikan sekitar Rp 12,4 miliar. Ini berarti masih jauh lebih besar dari dana yang dikeluarkan ketika hendak mencalonkan dari walikota. Jadi, siapa lagi ingin nyalon bupati Blora ?
(Penulis Drs Ec Agung Budi Rustanto – Redaktur tabloid Suara Rakyat)

Tidak ada komentar: