tabloid pertama karya CAH BLORA ASLI

Selasa, 05 Januari 2010

Kulanuwon - Edisi 84 Planning -DEMOKRASI 2010

Menunggu Demokrasi Sesungguhnya di Blora

      

Seminggu sudah kita berada di tahun 2010. Secara keseluruhan, rasanya memang tidak ada bedanya dengan tahun 2009, 2008 dan seterusnya. Waktu begitu cepat berlalu, namun perubahan seolah tidak berjalan paralel. Perubahan sosial, ekonomi, politik di Blora ini serasa begitu lamban dan di Indonesia pada umumnya.

   

Semuanya seolah-olah hanya terjadi hiruk pikuk di awal. Perkembangan selanjutnya, perlahan-lahan menurun, mendatar atau kalaupun menanjak, ya… tak dirasakan membawa perubahan mendasar. Barangkali proses seperti itu yang memang harus kita lalui. Sebuah proses menuju Blora yang sesungguhnya… perlahan namun pasti.

   

Sesungguhnya kita patut bersyukur kepada mereka yang telah berjasa mengubah perjalanan negeri ini menjadi yang seperti kita rasakan sekarang ini di Blora, termasuk jasa besar seorang KH Abdurrahman Wahid alias Gus Dur yang di pengujung tahun 2009 meninggalkan kita untuk selama-lamanya.

   

Berkat jasa merekalah, perjalanan bangsa ini secara terus menerus menuju ke arah kebaikan dan perbaikan. Sekalipun terasa perlahan, namun perubahan menuju era demokrasi yang sejati itu benar-benar terjadi.

   

Memang di Blora tidak ada lompatan besar. Namun jika dibandingkan dengan kabupaten tetangga sekeliling kita, maka dalam sepuluh tahun terakhir ini proses memperkuat demokrasi kita bisa dikata jauh lebih unggul.

   

Saya menjadi teringat ketika pada tahun 1996 para mahasiswa dikejar-kejar tentara gara-gara aksi demonstrasi di dalam kampus universitas di Surabaya. Padahal saya yakin, yang didemo yaitu Presiden Soeharto. Karena kala itu Soeharto hanya melintas di Jl Semolowaru, sementara demonstran baru berjalan menuju pintu gerbang kampus dan jumlahnya pun hanya belasan.

   

Bukan hanya para demonstran yang “disikat” aparat, para wartawan pun tak luput dari kejaran mereka. Media massa demikian terbelenggu, terkooptasi oleh kekuasaan. Menjadi wartawan, 14 tahun silam, sungguh tak nyaman. Begitu banyak batasan fakta yang boleh dan tidak boleh direkam dan disampaikan kepada khalayak pembacanya.

   

Sebuah demonstrasi berskala kecil seperti yang terjadi di depan kampus itu 1996 lalu, telah membuat heboh aparat Korem, Kodim hingga Koramil. Satu peleton Dalmas Polres pun dikerahkan. Padahal jumlah mahasiswa demonstran tak lebih dari 14 orang.

   

Wartawan peliput pun telah diincar. Begitu aksi pembubaran berlangsung, secara represif aparat menangkapi demonstran. Wartawan tak lepas dari genggaman para petugas. Kamera dirampas, negatif film dilepas, yang bersangkutan dilempar ke dalam truk dibawa ke markas.

   

Kini setelah 14 tahun berjalan, media massa mulai menemukan jati dirinya sebagai salah satu pilar demokrasi di negeri ini. Terlebih di tahun 2009 yang baru saja kita lewati. Terjadi sebuah lompatan besar atas peran serta media massa dan masyarakat terhadap kehidupan berbangsa dan bernegara. Itulah makna demokrasi yang sesungguhnya, mewujudkan kedaulatan dan keadilan demi rakyat.

   

Sebut saja kasus nenek Minah yang mengambil tiga buah kakao di Purwokerto, kasus Prita Mulyasari yang dituduh mencemarkan nama baik rumah sakit dan dokter gara-gara menuliskan keluhannya di Internet dan juga kasus Wakil Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi Bibit-Chandra yang terkenal dengan istilah “cicak vs buaya”.

   

Rakyat dengan dukungan teknologi informasi dan media massa demikian leluasa bergerak. Mereka menggugat pemerintah serta lembaga peradilan yang hanya berpegang pada penegakan hukum formal material yang didasarkan kepada ayat dan pasal dalam undang-undang, namun mengabaikan rasa keadilan masyarakat. Hasilnya, sebuah kekuatan civil society yang dahsyat, tak terbendung dan berdampak luar biasa bagi perkembangan demokrasi dan hukum di negeri kita.

   

Indonesia setidaknya telah melalui empat masa demokrasi dengan berbagai versi. Pertama adalah Demokrasi Liberal pada masa kemerdekaan.

   

Kedua, Demokrasi Terpimpin, ketika Presiden Soekarno membubarkan konstituante dan mendeklarasikan Demokrasi Terpimpin.

   

Ketiga adalah Demokrasi Pancasila sejak pemerintahan Presiden Soeharto. Sekalipun berlabel demokrasi, namun ketiga versi demokrasi itu kalau boleh saya sebut masih bersifat semu atau setidaknya tidak terlalu cocok dengan kehendak rakyat.

   

Sejak rezim Soeharto dilengserkan, maka kita sedang berproses untuk mempraktikkan konsep demokrasi sesungguhnya yang saat ini masih dalam masa transisi dan mudah-mudahan di tahun 2010 ini tanda-tanda pencapaian ke arah demokrasi substantif kian tercapai. Berbagai drama politik dan penegakan hukum di tahun 2009 telah memberikan sinyal kuat bagi berjalannya demokratisasi di negeri ini termasuk juga di Blora tercinta. Seperti kasus seorang ketua dewan Blora tanggal 15 Pebruari 2009 diputuskan bersalah, sehingga bisa juga masuk bui.

   

Semoga saja, solidaritas masyarakat, kepedulian rakyat dan kekritisan seluruh elemen Blora sekarang ini bisa menjadi penjaga demokrasi. Para penegak hukum dan aparat Blora juga harus kian peka terhadap tuntutan rakyatnya yang semakin sadar hukum dan demokrasi.

   

Semoga tahun 2010 menjadi anjakan kesadaran bagi semua pihak bahwa kini rakyat tidak lagi puas dengan prosedur demokrasi dan peradilan semu yang dikendalikan dan dipermainkan oleh para elit, namun tidak bekerja untuk rakyat dan demi rasa keadilan masyarakat. Rakyat membutuhkan demokrasi seperti yang dicita-citakan Gus Dur yakni menjadikan negeri ini sebagai sebuah negara yang demokratis, sistem demokrasi yang bisa dikendalikan sekaligus dinikmati rakyat. (penulis Drs Ec. Agung Budi Rustanto- Redaktur tabloid Suara Rakyat)

Tidak ada komentar: