tabloid pertama karya CAH BLORA ASLI

Jumat, 11 Desember 2009

82 - PERS dan INTIMIDASI

Kulanuwon

Sudah Bukan Era Penekanan Pers




Mungkin Kasus yang menimpa dua koran nasional perlu menjadi perhatian serius para Insan pers di Indonesia tentunya Pers Blora khususnya.




Seperti hal yang baru-baru ini yakni terkait pemanggilan dua awak media Kompas dan Seputar Indonesia oleh polisi, Rabu (20/11) lalu. Motif utama pemanggilan memang masih simpang siur.




Sebagai tindak lanjut laporan Anggodo Widjojo terkait penyadapan KPK atau cara polisi untuk mencari alat bukti guna menjerat Anggodo. Mana yang benar? Aparat kepolisianlah yang paling tahu.


Lepas dari motif pemanggilan tersebut, kasus ini mengundang reaksi keras.



Bukan hanya dari kalangan insan pers, Menteri Komunikasi dan Informatika (Menkominfo) Tifatul Sembiring pun menyatakan hal serupa. Menurut menteri, saat ini bukan masanya memanggil pers terkait pemberitaan.




Kami memahami betul reaksi keras tersebut. Kami tidak bermaksud menolak kewenangan polisi untuk meminta keterangan siapa saja, termasuk wartawan.
Meskipun wartawan juga punya hak tolak sesuai pada UU no 40/1999 tentang Pers pada pasal 4 ayat 4.


Sedang pada UU kepolisian UU no 2 tahun 2002 tentang Polri, menyebutkan Setiap warga negara tidak bisa menolak panggilan polisi. Mana yang menjadi acuan menurut penulis MK lah yang wajib menindak-lanjuti.




Kesediaan kedua awak media untuk menghadiri panggilan polisi sesuatu yang perlu diapresiasi. Namun yang kami persoalkan adalah substansi yang mendorong polisi memanggil pers, Terlihat banyak kejanggalan.




Menurut Kadiv Humas Polri Irjen Nanan Soekarna, pemanggilan itu sebagai upaya polisi untuk mencari dua alat bukti guna menjerat Anggodo.




Tentu aja alasan untuk mencari alat bukti ini pantas dipertanyakan. Bukankah polisi bisa meminta keterangan KPK sebagai tangan pertama yang memiliki rekaman?




Bukanlah pers hanya mentranskrip rekaman yang diputar dalam sidang Mahkamah Konstitusi (MK) yang terbuka untuk umum? Mengapa justru pers yang dipanggil? Bukan KPK atau MK misalnya?




Yang lebih mengherankan, pemeriksaan dua awak media tersebut tidak dituangkan dalam berita acara pemeriksaan (BAP) namun cuma ditulis dalam berita acara interview (BAI). Beberapa pakar hukum menilai
BAI tidak dikenal dalam sistem hukum di Indonesia.



Sehingga, keterangan dua awak media tersebut tidak bisa dijadikan dasar dalam proses hukum.





Kalau demikian, lantas buat apa polisi memanggil pers jika keterangannya tidak bisa dijadikan dasar hukum? Bukankah itu langkah mengada-ada?




Sangatlah wajar publik kemudian curiga, jangan-jangan pemanggilan itu sebagai bentuk halus polisi untuk menekan pers? Tentu saja kami berharap kecurigaan itu tidak terjadi. Apapun dan bagaimanapun setiap bentuk tekanan terhadap pers akan sangat berbahaya. Apalagi diera globalisasi ini, kalangan Pers Dunia pasti tidak akan tinggal diam.




Jika kebebasan pers terusik, bukan hanya kalangan pers yang rugi. Hak-hak publik untuk mendapatkan informasi yang dijamin undang-undang pun akan terabaikan. Mengancam pers sama saja kita akan kembali ke era pengekangan ala rezim Orde Baru.




Sorotan keras juga datang dari pengamat Polri yang juga mantan Anggota Polri Kombes (purn) Bambang Widodo Umar, Cara Polri itu dinilai mengada-ada dan sudah kehilangan arah.




Menurut Bambang, kriteria BAI itu tidak ada dalam hukum acara pidana. Kalau memeriksa saksi memang memakai berita acara pemeriksaan (BAP). Kalau dipanggil dengan menggunakan interview seharusnya tak memakai berita acara. Hanya diajak untuk ngobrol-ngobrol dalam rangka mencari masukan dan pertimbangan Polri atas suatu laporan atau masalah.




Hal senada disampaikan Staf Khusus Presiden SBY bidang hukum, Denny Indrayana. ‘’Kalau manggil-manggil pers jadi muncul lagi kesan kriminalisasinya. Kalau soal Anggodo kan lebih tepat memanggil MK atau KPK,’’ Denny, di sebuah acara diskusi di Warung Daun, Jl Pakubuwono, Jakarta Selatan, Sabtu (21/11).



Denny menilai, pemanggilan media oleh Polri semakin memperkeruh suasana dalam menyelesaikan kasus Bibit dan Chandra. Situasi bukan menjadi reda, tetapi semakin memanas.




Untung langkah Presiden SBY sangatlah tepat. Melihat gelagat ini yang nantinya malah akan memperkeruh suasana dan stabilatas Indonesia, Beliu mengadakan silaturrahmi dengan para sesepuh yang ada di Dewan Pers 22 Nopember 2009 di Istana Negara.




Langkah Presiden Inilah yang dinilai para pengamat politik dan hukum nasional, menunjukan apa yang dilakukan Polri adalah tindakan yang kurang tepat dalam pemanggilan kedua pimpinan Koran nasional tersebut.


Untuk itulah penulis berharap Di tengah sorotan publik yang besar, sebaiknya kepolisian bersikap arif dan bijak dalam bertindak. Akan lebih baik sorotan tajam masyarakat ini dijadikan bahan refleksi untuk terus memperbaiki diri, membangun kembali kepercayaan masyarakat terhadap kepolisian yang sedang terpuruk.




Bukan malah memanggil pers yang ujung-ujungnya justru mengundang persepsi negatif bagi aparat kepolisian di mata publik.




Mungkin inilah syair Manusia setengah dewanya Iwan Fals yang sebagai bekal Presiden SBY dalam memimpin Indonesia kedepan agar lebih baik.




Wahai Presiden kami yang baru

Kamu harus dengar suara ini



Suara yang keluar dari dalam Goa

Goa yang penuh lumut kebosanan



Walau hidup adalah permainan

Walau hidup adalah hiburan



Tetapi kami tak mau dipermainkan

Dan kami bukan hiburan



Turunkan harga secepatnya

Berikan kami pekerjaan

Pasti kuangkat engkau menjadi manusia setengah dewa



Masalah moral masalah akhlak

Biar kami cari sendiri



Urus saja moralmu, urus saja akhlakmu

Peraturan yang sehat yang kami mau



Tegakan hukum, setegak-tegaknya

Adil dan tegas, tak pandang bulu

Pasti kuangkat engkau menjadi manusia setengah dewa

(Penulis Drs.Ec. Agung Budi Rustanto-Redaktur Tabloid Suara Rakyat)

Tidak ada komentar: