tabloid pertama karya CAH BLORA ASLI

Senin, 27 Juli 2009

HUT KEJAKSAAN - Planning edisi 73

Kulanuwon

Sudahkah Kejaksaan jadi Institusi Progresif


Sudah saatnya sekarang bagi kejaksaan membangun diri menjadi institusi yang progresif, di mana hukum progresif menawarkan pembebasan dari dominasi perundang-undangan yang absolut sehingga tergantung pada kreativitas dan keberanian dari manusia yang menjalankannya.


22 Juli ini adalah hari bersejarah bagi jajaran Kejaksaan di seluruh Indonesia. Hari itu diperingati sebagai Hari Adhyaksa atau Hari Jadi Kejaksaan yang tahun ini adalah peringatan yang ke-49.


Sebagai institusi yang mendapat mandat dalam penyelidikan, penyidikan, hingga penuntutan, tantangan yang dihadapi Kejaksaan ke depan, tidak semakin ringan. Terlebih dengan menggelindingnya asa masyarakat yang menaruh pengharapan besar bagi Kejaksaan.


Muncul beberapa kasus yang melibatkan beberapa oknum Kejaksaan terutama yang melibatkan begitu banyak jaksa nakal di institusi tersebut di era kepemimpinan Jaksa Agung Hendarman Supandji.


Jaksa Agung kini tengah berbenah membangun citra kejaksaan yang tengah ternoda. Persoalan utama mencuatnya jaksa nakal di era Hendarman tidaklah diartikan bahwa sebelumnya tidak ada jaksa nakal, namun karena suasana pascareformasi yang begitu terbuka maka penyimpangan seorang jaksa begitu banyak terkuak.


Realitas yang ada sekarang, sering kali terjadi penyimpangan-penyimpangan birokrasi Kejaksaan yang bersembunyi di balik bekerjanya birokrasi. Karakter birokrasi tersebut dibungkus dalam doktrin Kejaksaan adalah satu. Sudah menjadi kesadaran kolektif bahwa kinerja Kejaksaan belum optimal, bahkan belum berhasil.


Dalam kondisi ketidakjelasan parameter penanganan perkara dan sistem sentralistik menjadi alasan korupsi yang laten. Seorang jaksa dengan alasan menunggu rencana tuntutan (Rentut) dari Jaksa Agung, ia bisa membuat lama sebuah perkara. Dengan cara itu terbuka proses negosiasi apakah tuntutan lama atau tidak, maka sering ditemukan bahwa tuntutan jaksa tertunda sekian bulan karena belum ada petunjuk dari atas.


Di sisi lain, gaya hidup hedonis jaksa telah menyebabkan mereka mata gelap dan sangat tidak profesional dalam penanganan perkara. Bukan hal aneh, untuk syukuran naik pangkat saja, seorang jaksa bisa menghabiskan uang ratusan juta rupiah. Uang itu didapat dari hasil ”olah perkara ”. Dengan keahlian tertentu, nama saksi bisa hilang dari daftar atau nama terdakwa bisa menguap entah ke mana.


Untuk membenahi karut-marutnya institusi itu, sudah saatnya Kejaksaan membangun diri menjadi institusi yang progresif. Hukum progresif mengajak kita untuk menyadari, bahwa hukum adalah satu hal dan menjalankan hukum tersebut sebagai hal yang lain. Hukum sebagai teks adalah awal saja dan akhirnya akan sangat tergantung bagaimana faktor manusia menjalankannya.


Hukum progresif menawarkan pembebasan dari dominasi perundang-undangan yang absolut. Perundang-undangan atau teks dilihat sebagai titik awal saja dalam menjalankan hukum, karena selanjutnya tergantung pada kreativitas dan keberanian dari manusia yang menjalankannya. Di tengah-tengah suasana karut-marut hukum, hukum progresif menawarkan alternatif-alternatif cara berhukum untuk mengatasi dan keluar dari krisis hukum tersebut.


Menurut Wahyudo Tora Hananto SH MH, Ketua Presidium Forum Studi Hukum Progresif agar tercipta institusi Kejaksaan yang progresif untuk mewujudkan penegakan hukum progresif, dalam implementasinya harus membebaskan struktur birokrasi Kejaksaan dari keempat karakter.


Pertama, membebaskan dari struktur birokrasi yang birokratis. Kedua, membebaskan dari struktur birokrasi yang sentralistik. Ketiga, membebaskan dari struktur birokrasi yang menganut sistem komando, dan keempat, membebaskan dari struktur birokrasi dengan sistem pertanggungjawaban hierarkis.


Munculnya kritikan dan bahkan cacian masyarakat yang ditujukan kepada kinerja kejaksaan, tidak perlu disikapi secara pesimistis, apalagi dengan rasa emosi. Masyarakat mengkritisi Kejaksaan, itu sama dengan masyarakat mencintainya. Tidak satu pun profesi di muka bumi yang tidak diadang oleh tantangan dan kritikan atau cacian. Itulah satu di antara sekian tantangan yang harus diterima.


Tak pelak lagi, pada peringatan Hari Adhyaksa ini, seluruh jajaran kejaksaan harus bertekad bulat untuk meningkatkan citra Kejaksaan yang ternoda akibat perbuatan sejumlah oknum jaksa nakal. Tidak ada alasan bagi jajaran Kejaksaan untuk keder, apalagi berkecil hati dengan tantangan ke depan. Seonggok harapan masyarakat harus disambut hangat melalui jalan pengabdian yang hakiki. Sebab, diakui atau tidak, tugas Kejaksaan sangat berat namun mulia.


Harapan kita, semoga kinerja Kejaksaan Khususnya Kejaksaan Negeri Blora semakin kokoh dan mantap di atas landasan kredibilitas yang tinggi. Aturan yang bagus dan baik, menjadi tidak bermakna bila jajaran Kejaksaan tidak menjalankannya dengan penuh rasa tanggung jawab yang ditopang dengan kejujuran, kejuangan dan tetap menjunjung tinggi nilai-nilai profesionalisme yang melekat dalam sanubari setiap insan Kejaksaan

(Penulis : Drs Ec. Agung Budi Rustanto – Redaktur tabloid Suara Rakyat)

Tidak ada komentar: