tabloid pertama karya CAH BLORA ASLI

Senin, 20 Juli 2009

SR Edisi 72 - KULANUWON



“GURU” Antara Profesi Atau Cuma Mengejar Gaji?


Tatkala Hiroshima dan Nagasaki luluh lantak karena bom sekutu, langkah pertama yang dilakukan oleh Kaisar Hirohito adalah memerintahkan didata berapa jumlah guru yang masih hidup. Hal ini sebagai tanda betapa pentingnya peran guru untuk memulihkan kondisi negara yang telah lumpuh total.


Peran guru memang sangat diutamakan. Namun bagaimana peran guru di negara telah merdeka selama 63 tahun?


Sejak zaman penjajahan Jepang sampai era globalisasi ini, guru merupakan sosok yang harus digugu dan ditiru dan telah diberi kepercayaan oleh negara untuk mencerdaskan kehidupan bangsa


Tetapi faktanya berdasarkan penelitian Human Development Index (HDI) atau indeks pembangunan manusia bahwa Indonesia menduduki peringkat 107 dari negara-negara di dunia.


Hal ini menunjukkan bahwa kinerja dari guru kita belum sesuai dengan tujuan dari pembukaan UUD 1945 antara lain yaitu mencerdaskan kehidupan bangsa.


Dari sisi yang lain, masih terjadi penyimpangan dalam pelaksanaan Ujian Nasional (UN) 2009. Terdapat 33 sekolah di seluruh Tanah Air yang siswanya tidak lulus 100%, karena ada oknum yang berusaha berperan meluluskan siswanya secara curang namun hasil yang diperoleh tidak sesuai dengan yang diharapkan.


Berdasarkan UU No 20/2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, pendidik merupakan tenaga profesional yang bertugas merencanakan dan melaksanakan proses pembelajaran, menilai hasil pembelajaran, melakukan pembimbingan dan pelatihan, serta melakukan penelitian dan pengabdian kepada masyarakat, terutama bagi pendidik pada perguruan tinggi.


Mengacu kepada UU tersebut, kewajiban pendidik adalah pertama, menciptakan suasana pendidikan yang bermakna, menyenangkan, kreatif, dinamis dan dialogis. Kedua, mempunyai komitmen secara profesional untuk meningkatkan mutu pendidikan. Ketiga, memberi teladan dan menjaga nama baik lembaga, profesi dan kedudukan sesuai dengan kepercayaan yang diberikan kepadanya.


Namun di balik itu semua, guru memang bukan malaikat, tetapi guru adalah manusia biasa yang mempunyai tanggung jawab lain di samping tugas pokoknya berkewajiban mendidik, mengajar dan melatih. Mendidik berupaya menanamkan etika, estetika dan moral yang berhubungan dengan keyakinan terhadap Tuhan Yang Maha Esa.


Mengajar itu proses mentransfer ilmu pengetahuan dan teknologi dan melatih menjadikan peserta didik mempunyai keterampilan agar mampu menghidupi dirinya sendiri secara mandiri ketika sang murid telah terjun di dalam kehidupan bermasyarakat.


Guru sejati (guru profesional) yaitu guru yang bekerja sebagai profesi dan berlandaskan pada tuntutan hati nurani sehingga mengajar dijadikan sebagai kegiatan ibadah. Jika meninggalkan mengajar, akan muncul rasa kasihan kepada peserta didik karena perbuatan itu melanggar sumpahnya.


Guru jenis ini selalu berpegang pada rasa syukur atas nikmat Tuhan berupa nomor induk pegawai (NIP) sehingga materi bukan lagi sebagai tujuan utama namun kepuasan batinlah yang menjadi target pribadi.


Guru sejati tidak berpengaruh pada sosok atasan, dalam hal ini kepala sekolah. Yang terpenting seorang guru dapat mempunyai kesadaran moral yang berkeinginan membentuk sebuah karakter dan membekali anak didik dengan keterampilan sesuai dengan bakat anak.


Akan tetapi ada pertanyaan dan indikasi di Blora masih ada guru masuk ke dalam kelas hanya menyuruh siswa untuk mencatat materi pelajaran atau memberi contoh satu soal, setelah itu, siswa diberi tugas untuk mengerjakan soal dari buku paket atau lembar kerja siswa (LKS).


Lalu dia meninggalkan kelas dan baru kembali ke dalam kelas menjelang waktu habis pelajaran yang diampu. Guru tipe seperti ini akan membiarkan murid bertingkah dalam bentuk apapun meski melanggar tata tertib sekolah. Barangkali di benaknya,”emangnya gue pikirin! Kalau guru sudah mempunyai karakter seperti ini mau jadi apa generasi bangsa ini?


Ketika program sertifikasi diluncurkan oleh pemerintah sebagai wujud realisasi dari berbagai keluhan, konon yang menyebabkan mutu pendidikan rendah salah satu di antaranya disebabkan oleh gaji rendah. Akibatnya, guru tidak bisa berkonsentrasi atau dengan kata lain tidak total dalam mengabdikan dirinya kepada siswa.


Akibat lainnya, guru harus mencari samben (pekerjaan sampingan) sehingga mereka meninggalkan pekerjaan pokoknya demi kelangsungan kebutuhan rumah tangga.


Dalam situasi seperti itu, guru tidak bisa berkreasi dalam mengelola proses pembelajaran di dalam kelas, mengajar hanya dengan memakai materi yang diingat.


Namun, setelah guru memperoleh predikat profesional yang ditandai dengan sebuah sertifikat, apakah para guru tersebut berubah pola kerjanya?


Ternyata hanya sebuah harapan kosong. Guru besertifikasi tak kunjung membaik kinerjanya. Malah yang terjadi adalah kecemburuan di kantor guru. Guru yang belum terjaring sertifikasi menjadikan guru yang telah sertifikasi sebagai kacamata/barometer kinerja. Disinilah muncul pertanyaan dari penulis Guru itu professional atau hanya mengejar gaji yang gede ?


Untuk mengantisipasi kecemburuan sosial di antara para guru, sudah selayaknya apabila kepala sekolah atau Dinas Pendidikan berani mengambil langkah yang bijak yang menguntungkan bagi para guru yang rajin. Misalnya, dengan memberikan tunjangan kesejahteraan yang bisa membedakan antara guru rajin dengan guru pemalas.


Untuk menentukan kriteria ini, kepala sekolah harus berani bertindak objektif. Bila memungkinkan, organisasi komite sekolah, Dewan Pendidikan dan Lembaga Penjaminan Mutu Pendidikan (LPMP) digandeng. Komite sekolah, selama ini, jangan hanya berfungsi sebagai jembatan antara sekolah dengan orangtua walimurid saat penarikan dana pembangunan.


Saatnya kepala sekolah yang pada hakikatnya merupakan jabatan yang sangat strategis dalam rangka memajukan pendidikan, dipilih dari orang-orang yang cakap, rekrutmennya berprinsip pada objektivitas, transparan dan akuntabel.


Sudah saatnya lembaga independen dilibatkan agar diperoleh sebuah kualitas, dapat memberdayakan semua komponen yang ada terutama guru, karena guru merupakan masalah yang sangat urgen. Sedangkan secara organisatoris, kepala sekolah di bawah pembinaan dari pengawas.


Untuk jenjang SD dikenal pengawas TK/SD sesuai dengan daerah binaan sedangkan SMP dalam lingkup kabupaten/kota mempunyai minimal tiga orang pengawas, tidak sebanding dengan jumlah sekolah yang mencapai seratusan. Pengawas datang ke sekolah dengan waktu yang relatif singkat dan sedikit, apakah mungkin dapat memberikan pengawasan, pembinaan secara objektif?


Untuk meningkatkan kualitas pendidikan, seharusnya kita membuka prinsip yang telah diwariskan oleh bapak pendidikan Ki Hajar Dewantara bahwa pendidikan itu berlangsung pada tiga tempat: keluarga, sekolah dan masyarakat.


Sebetulnya, kurang benar apabila orangtua menyerahkan sepenuhnya untuk pendidikan anak kepada sekolah. Sedangkan di rumah, orangtua malah menyerahkan kepada televisi sebagai guru sekaligus sumber pembelajaran utama. Mestinya, para orangtua tidak percaya sepenuhnya kepada sekolah. Orangtua perlu meluangkan waktu datang ke sekolah untuk memantau perkembangan kemajuan pendidikan anak, bukan hanya datang pada saat ada undangan dari sekolah.


Pendidikan yang paling mendasar bagi anak sesungguhnya diperoleh dari rumah dan orangtua sebagai gurunya. Dan tidak lupa pula pengawasan terhadap anak tatkala dia bergaul dengan teman di lingkungan masyarakatnya. Ketiga jalur pendidikan tersebut harus berlangsung tanpa harus ada yang saling menggantungkan apabila kita berkeinginan pendidikan itu untuk maju.

(Penulis : Drs.Ec. Agung Budi Rustanto – redaktur tabloid Suara Rakyat)

Tidak ada komentar: